
ANTARA PEMILU, PILKADA, DAN PILKADES
Oleh ZAENAL MUTIIN
Anggota KPU Kabupaten Serang (Divisi Data dan Informasi)
Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara sederhana, masyarakat memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di negara Indonesia diwujudkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan oleh rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan Umum di Indonesia bertujuan memilih seseorang untuk jabatan politik tertentu. Pemilu dilakukan untuk jabatan eksekutif, legislatif pada setiap tingkat pemerintahan hingga pemilihan kepala desa. Pemilihan Umum di Indonesia dapat dikategorikan pada 3 (tiga) level pemilihan. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan memilih anggota Legislatif. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan ditingkat daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Ketiga, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dilaksanakan di tingkat desa untuk memilih Kepala Desa.
Dari ketiga level pemilihan itu, dasar regulasi juga ada pada masing-masingnya. Pemilu, menggunakan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pilkada, menggunakan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sedangkan Pilkades, menggunakan Dasar Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2014, penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades) dianggap lebih demokratis dibandingkan sebelumnya. Pemilihan kepala desa merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh setiap desa secara serentak dalam wilayah kabupaten untuk memilih calon kepala desa. Nantinya, calon kepala desa ini akan mengemban tugas yang diberikan padanya. UU No. 6 Tahun 2014 telah memberikan ruang dan gambaran tentang bagaimana proses demokratisasi di tingkat desa, dengan cara mengadakan pemilihan kepala desa.
Persamaan dan Perbedaan;
Desa merupakan institusi pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Desa dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan: “Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat desa”.
Kendatipun Pemilihan Kepala Desa langsung oleh rakyat, layaknya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/Wallikota dan Wakil Walikota, Pilkades tak masuk dalam “rezim pemilu” Indonesia. Padahal dalam banyak hal, dari segi sistem, sifat, dan tahapan dan program penyelenggaraan Pilkades, sama persis dengan Pilpres dan Pilkada.
Pertama, sistem pemilu langsung di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 diilhami dari Pilkades yang dipilih langsung oleh rakyat. Indonesia tak mengadopsi sistem pemilu luar negeri. Akan tetapi, hal itu merupakan improvisasi dari tradisi, nilai serta norma demokrasi yang berurat-akar di tengah-tengah masyarakat desa.
Kedua, Pilkades memiliki sifat yang sama dengan Pilpres dan Pilkada. Sama-sama bersifat langsung, umum bebas, rahasisa, jujur dan adil, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU Desa tersebut. Ketiga, tahapan penyelenggaraan Pilkades juga meliputi: tahapan pencalonan, pemungutan suara dan penetapan, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU Desa tersebut pula.
Tampaknya, walau memiliki tiga kesamaan antara Pemilu, Pilkada, dan Pilkades, pemerintah dan DPR RI tidak memasukan Pilkades sebagai “rezim pemilu”. Pilkades merupakan sistem pemilihan sendiri di luar sistem pemilu yang ada.
Tidak masuknya Pilkades sebagai “rezim pemilu” karena memiliki perbedaan-perbedaan yang juga sangat subtantif, Penyelenggara Pilkades adalah panitia yang dibentuk oleh Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa), bukan KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, mandiri dan tetap.
Pengaturan mengenai pengawasan pelaksanaan tahapan Pilkades tidak diatur secara rinci. Baik di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 maupun Permendagri Nomor 72 Tahun 2020. Berbeda halnya dengan Pemilu dan Pilkada yang setiap tahapannya diawasi ketat oleh Bawaslu. Dalam Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 khususnya Pasal 44E hanya mengatur mengenai sanksi pelanggaran protokol kesehatan oleh panitia pemilihan di desa. Padahal dalam kenyataannya masih adanya pelanggaran tahapan yang dilakukan oleh para peserta calon kepala desa dan para pendukungnya. Dan juga, bila terjadi perselisihan hasil Pilkades, maka Bupatilah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikannya, bukan Pengadilan Negeri yang keputusannya bersifat mengikat dan final.
Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu. Namun tidak demikian halnya dengan Pilkades. Berdasarkan Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa “Bupati/Walikota membentuk panitia pemilihan di kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa panitia pemilihan tersebut berasal dari unsur forum koordinasi pimpinan daerah kabupaten/kota, yaitu Bupati/Walikota, pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, pimpinan satuan teritorial TNI di kabupaten/kota, Satgas penanganan Covid-19 kabupaten/kota, serta unsur terkait lainnya.
Presiden, Kepala Daerah dan Legislatif yang terpilih di dalam Pemilu dan Pilkada akan menjabat selama 5 tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali sebanyak satu kali. Sedangkan Kepala Desa yang terpilih dalam Pilkades akan menjabat selama 6 tahun dan bisa dipilih kembali untuk dua kali pemilihan berikutnya.
Pandemi, Pilkada dan Pilkades
Pilkades diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Di samping itu, pengaturan mengenai Pilkades ini juga tercantum pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Untuk pelaksanaan Pilkades di masa pandemi ini Menteri Dalam Negeri kembali mengubah peraturan tersebut ke dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa (yang selanjutnya akan disebut sebagai Permendagri Nomor 72 Tahun 2020).
Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 dibuat sebagai bentuk pencegahan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menyerang seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengaturan ini tidak berbeda dengan pengaturan pada Pilkada yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020 yang lalu (Pelaksanaan ini pun mundur dari jadwal semula yakni 23 September 2020 akibat pandemi Covid-19) Sejumlah protokol Kesehatan, seperti jaga jarak aman, memakai masker, serta mencuci tangan menjadi prasyarat dalam pelaksanaan Pilkades tahun ini.
Pilkada dan Pilkades sama-sama pemilu lokal yang pada periode ini dilaksanakan dimasa pandemi. Tetapi ada beberapa perbedaan yang mengajak kita untuk lebih bijak menyikapi dan mendorong pemerintah untuk antisipatif dalam merumuskan peraturan. Beberapa hal yang berbeda dari pelaksanaan pilkades dan pilkada, pertama, walaupun sama-sama politik lokal tetapi pelaksanaan Pilkades, aksesbilitas dan jangkaunnya lebih mudah karena lokasi dan isu lebih terjangkau, hal itu mendorong pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi, kegiatan-kegiatan politik lebih intens dan potensi konflik yang mengakibatkan kerumunan juga lebih tinggi. Kedua, perangkat pengawasan dan penindakan yang lemah. Dalam pilkades tidak ada seperti bawaslu dan keterlibatan kepolisian, sedangkan potensi konfliknya lebih tinggi. Pengawasan dilakukan oleh semua masyarakat dan masing-masing tim untuk mencegah pelanggaran pilkades, tetapi pada aspek pelanggaran protokol tentu lebih meragukan dilaksanakan. Ketiga kesadaran masyarakat tentang penerapan protokol kesehatan masih lemah, terbukti penerapan social distancing dan physical distancing tidak cukup efektif dalam kegiatan sosial. Kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan rata-rata 50-100 masih sering berlangsung di masyarakat tanpa memperhatikan protokol Covid-19.
Oleh karena itu, jika pilkades betul-betul ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan, masyarakat hendaknya melihatnya pada aspek kesiapan pemerintah dan sosial politik dalam pelaksanaan yang dikhawatirkan dan akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Maka masyarakat tidak perlu risau secara politik dengan menganggap seolah-oleh perlakuan berbeda ini karena surplus kepentingan elit yang berbeda. Seolah, elit politik tidak banyak meraup keuntungan dari pada pilkades atau pilkada. Sebaliknya jika pilkades tetap dilangsungkan dalam kondisi pandemi yang belum normal maka perangkat protokol harus betul-betul diperhatikan. Peraturan tentang pilkades harus tersirat menganut tentang protokol kesehatan dan mengatur pengawasan serta penindakan bagi penyelenggara dan pasangan calon yang mengabaikan peringatan pemerintah. Banyak hal yang mesti diperhatikan misalnya, pembagian atau pemecahan TPS-TPS, pelarangan pertemuan terbatas yang melibatkan banyak orang, pelarangan perkumpulan di rumah calon atau tim pasangan calon dalam jumlah banyak orang. Selian itu perlu dipertegas lembaga pengawas atau penindakan yang dikhususkan untuk menjaga ketaatan pada protokol Covid-19 agar penerapannya betul-betul maksimal dan efektif, Berbagai langkah-langkah preventif tersebut hendaknya menjadi renungan kita bersama untuk menjadi pelajaran dalam pelaksanaan Pilkades di masa pandemi ini, khususnya jika pandemi belum juga berakhir. Sehingga kepala desa yang terpilih merupakan kepala desa yang berintegritas dan berkualitas karena lahir dari proses pemilihan yang berintegritas dan berkualitas, serta penyebaran Covid-19 juga dapat diminimalisir. (Kabar Banten, 10 Agustus 2021)