
BUDAYA LITERASI, PENDIDIKAN DEMOKRASI, DAN PEMILIH CERDAS
Oleh ZAENAL MUTIIN
Anggota KPU Kabupaten Serang (Divisi Data dan Informasi)
Indonesia sebagai sebuah negara telah memilih formasinya sebagai negara modern dengan sistem demokrasi. Sebagai suatu sistem, demokrasi telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada konsekuensi logis yang diamanatkan kepada negara Indonesia dalam menjalankan sistem politik demokrasinya, yakni melakukan proses transfer kekuasaan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah penegasan atas makna dan syarat sebuah negara yang menyatakan dirinya menganut demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris di banyak negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu pijakan bagi hadirnya konsolidasi demokrasi, yakni praktik demokrasi yang kian matang dan stabil.
Kendati secara prosedural Indonesia telah melakukan Pemilu (pemilu nasional dan pilkada) secara berkala, namun dalam prosesnya masih dapat dikatakan belum sepenuhnya menjadi demokratis substantif. Disadari atau tidak bahwa dalam Pemilu, kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu salah satunya ditentukan oleh bagaimana kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Pada pembentukan kesadaran dan partisipasi, maka literasi politik tidak saja mendorong warga negara mau memanfaatkan haknya memilih dalam pemilu. Namun juga memiliki kemampuan untuk melakukan pemilihan secara tepat sesuai dengan kepentingan yang disandangnya, kemampuan untuk terlibat lebih jauh untuk memantau dan mengoreksi jalannya pemilu sesuai dasar hukum, sehingga pemilu benar-benar menjadi prosedur demokrasi yang baik, serta berkemampuan pula untuk mempertanyakan janji-janji pemimpin/wakil rakyat terpilih dengan berpartisipasi dalam proses penyusunan dan monitoring implementasi kebijakan-kebijakan publik seusai pemilu.
Indonesia dan Budaya Literasi
Demokrasi berpilar pada partisipasi yang sadar. Sedangkan partisipasi yang sadar dengan jiwa dan pikiran yang “penuh” itu adalah tujuan dari literasi itu sendiri. Menurut UNESCO, tujuan dari literasi adalah “enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”. Literasi diharapkan meningkatkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi-potensi yang mereka miliki, agar bisa “berpartisipasi secara penuh” (‘to participate fully’) dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun. Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65 negara. (International Federation of Library Associations and Institutions. 2017).
Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan membaca buku, ilmu pengetahuan akan didapatkan. Kegiatan membaca akan menambah wawasan sekaligus mempengaruhi mental dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran membaca ini akan membentuk budaya literasi yang berperan penting dalam menciptakan bangsa yang berkualitas.
Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras untuk diwujudkan, apalagi bila kita bicara tentang Indonesia. Penyebabnya, meski sudah 76 tahun merdeka, angka melek huruf kita masih rendah. UNDP merilis, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju. Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-69 dari total 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO. (International Federation of Library Associations and Institutions. 2017).
Dalam National Institute For Literacy, terminologi literasi merujuk pada kemampuan individu untuk membaca, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah dalam perkerjaan, keluarga dan masyarakat. Dari melek aksara menuju kemampuan membaca yang aktif. Dalam arti membaca dan mendapatkan pengetahuan dari proses tersebut. Literasi dalam kehidupan demokrasi tentunya mensyaratkan adanya kemampuan membaca dan menulis yang baik.
Pada titik ini, menjadi seorang literat harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan yang khas seperti mampu menganalisis dan menunjukkan sikap kritis terhadap masalah yang menjadi realitas umum. Selain itu, seorang literat juga harus selalu memiliki minat dalam membaca, menulis, menganalisis dan mengkritisi berbagai kebijakan publik serta mencari upaya solutif yang tepat dan akurat. Di sini, yang mendesak dibuat ialah dengan mengerti tentang demokrasi dalam memahami kebijakan publik.
Hari-hari ini kita bisa melihat bahwa salah satu kegagalan demokrasi yang menjadi intensi publik ialah kurangnya kapasitas pengetahuan masyarakat dalam memahami setiap bidang kehidupannya terutama demokrasi yang berkelanjutan. Masyarakat secara parsial belum memiliki kedalaman berpikir secara kritis dan rasional. Penurunan kemampuan berpikir ini menggiring pada demokrasi yang salah kaprah dan tidak berjalan pada sistemnya. Demokrasi Indonesia membutuhkan masyarakat yang berkualitas yang mampu membawa demokrasi ke arah yang progresif. Kehadiran literasi menunjang kematangan demokrasi. Semakin banyak masyarakat yang berpengatahuan dan berketerampilan serta kritis dengan realitas publik dapat membentuk demokrasi yang otentik.
Pendidikan Demokrasi dan Pemilih Cerdas
Pendidikan dan politik adalah dua faktor penting dalam sistem sosial. Keduanya bersinergi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara. Satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku masyarakat. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara memberikan dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara. Hubungan tersebut adalah realitas empirik yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Demokrasi sejati memerlukan sikap dan perilaku hidup demokratis masyarakatnya. Demokrasi ternyata memerlukan syarat hidupnya yaitu warga negara yang memiliki dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, secara substantif berdimensi jangka panjang, guna mewujudkan masyarakat demokratis, pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Pendidikan demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan oleh warga negara bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada masyarakat akan pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi. Untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupannya dan sudah menjadi kebiasaan tanpa ada tekanan dari siapapun.
Kualitas suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kualitas dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan para kaum cerdik pandai yang terekam dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang dinamis. Para penggiat pendidikan sepakat bahwa pintu gerbang penguasaan ilmu pengetahuan adalah dengan banyak membaca. Sebab dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, masyarakat Indonesia akan dapat melihat keluar, sisi-sisi apa yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera. Kondisi-kondisi seperti ini cukup berarti bagi berkembangnya nilai-nilai dan tradisi demokrasi, sebuah landasan hakiki bagi berjalannya lembaga-lembaga demokrasi di tingkat masyarakat maupun negara.
Literasi pemilih rasional menjadi penting seiring dengan agenda konsolidasi demokrasi menuju pelembagaan pemilu, dengan tujuan menjadikan para pemilih terliterasi saat dihadapkan dengan keputusan memilih kepada kandidat atau partai politik. Dalam menjatuhkan pilihannya tak hanya berdasarkan popularitas calon atau faktor kedekatan secara emosional belaka. Tetapi mampu mengetahui dan memahami rekam jejak, program dan visi misinya. Karena apapun pilihannya, akan kembali kepada para pemilih juga.
Pemilih rasional pada hakekatnya adalah pemberi suara yang rasional, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian pada kebanyakan warga negara. Orang yang rasional, selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif. Dan pemberi suara rasional berminat secara aktif terhadap politik, rajin berdiskusi dan mencari informasi politik, serta bertindak berdasarkan prinsip yang tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan umum. Demikian juga pemberi suara rasional mampu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan kekuatan politik.
Dengan demikian, literasi politik merupakan komponen terpenting untuk mengarahkan warga negara dalam memahami realitas politik terutama ketika menjatuhkan pilihannya terhadap kontestan atau partai politik tertentu. Literasi politik tidak harus di ruang-ruang formal, namun bisa dilaksanakan di ruang-ruang informal, yang terpenting adalah bagaimana pemilih lebih cerdas, rasional dan kritis dalam menjatuhkan pilihannya. Karena hanya pemilih yang memiliki tipologi tersebut yang bisa merubah masa depan bangsa ini. Sudah saatnya pemilih Indonesia, menjadi pemilih yang lebih kritis dan rasional. Sekali lagi, memilih pemimpin tidak hanya faktor popularitas dan elektabilitasnya saja, namun bagaimana melihat lebih jauh tentang rekam jejam, tidak memiliki cacat politik dan dipercaya bisa melakukan perubahan yang lebih baik.
Budaya literasi dibentuk secara partisipatif-kolektif untuk menciptakan panorama demokrasi yang elegan tanpa ada distorsi sosial. Secara umum literasi yang mengalami peningkatan dapat memproduksi berbagai elemen masyarakat yang rasional dan demokratis serta kritis. Sangat diharapkan literasi sebagai substansi ilmiah yang membebaskan masyarakat dari penjara kebodohan menuju manusia berpikir untuk negara dan demokrasi. Demokrasi Indonesia membutuhkan masyarakat yang berkualitas yang mampu membawa demokrasi ke arah yang progresif. Kehadiran literasi menunjang kematangan demokrasi. Semakin banyak masyarakat yang berpengatahuan dan berketerampilan serta kritis dengan realitas publik dapat membentuk demokrasi yang otentik.
Akhirnya, literasi harus berakar dalam dunia pendidikan berpolitik bangsa Indonesia. Ia mesti melekat pada setiap elemen masyarakat maupun elite politik. Demokrasi bisa tumbuh subur, jika ada basis budaya literasi yang terus meningkat. Salam literasi. (Banten Pos, 2 September 2021)