ISLAM, DEMOKRASI, DAN PEMILU SERENTAK 2024
ISLAM, DEMOKRASI, DAN PEMILU SERENTAK 2024
Oleh : Zaenal Mutiin
Anggota KPU Kabupaten Serang
Islam sebagai agama yang menyeluruh (kaffah), sehingga ajaran Islam tidak hanya terbatas pada hubungan manusia dengan Allah saja (habl minallah), tetapi juga pada hubungan sesama manusia (habl minannaas). Hubungan sesama manusia ini termanifestasikan dalam hubungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Hingga kini, tema Islam, demokrasi, dan Pemilihan Umum (PEMILU) masih menjadi isu sentral masyarakat Indonesia, terutama menjelang pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024. Demokrasi masih diragukan kehalalannya hingga masyarakat menganggap tidak perlu berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada.
Pemilihan umum merupakan sebuah metode dalam sistem demokrasi yang bertujuan untuk memilih perwakilan rakyat sebagai pembuat kebijakan dan memilih pemimpin untuk menjalankan hukum serta kebijakan yang dibuat oleh perwakilan rakyat tersebut. Dalam pemilihan umum keputusan tertinggi diserahkan kepada suara mayoritas masyarakat.
Demokrasi menjadi salah satu sistem pemerintahan negara terbaik oleh untuk mencapai cita-cita negara, sehingga banyak negara yang melakukan perubahan sisitem politik dari negara yang sebelumnya tidak demokrasi, menjadi negara yang demokrasi, salah satu nya adalah negara Indonesia. Keberadaan sistem demokrasi memberikan kebebasan diberbagai bidang telah memberikan kesempatakan kepada individu atau kelompok dan bahkan aliran dalam keagamaan untuk tumbuh dan berkembang. Jika dimaknai sebagai sebuah ideologi sebuah negara, maka negara tersebut harus menyerahkan kekuasaan tertinggi kepada rakyat, sehingga rakyatlah yang akan membentuk pemerintah dan membentuk kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat sebab dalam demokrasi segala sesuatunya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Islam sebagai agama yang juga komprenhensif (syumulliyah). Tidak ada suatu kasus apapun yang muncul dalam kehidupan manusia dari dahulu hingga akhir zaman, pasti ada jawaban hukumnya menurut syari’at, termasuk masalah demokrasi dan pemilu serta hal-hal lain yang berkaitan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam dan Demokrasi
Pemahaman hakekat demokrasi haruslah terlebih dahulu diawali dengan pengertian demokrasi serta nilai yang terkandung di dalamnya. Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-maslah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Dari sudut organisasi, “demokrasi” berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Seringkali kita dihadapkan dengan kenyataan adanya kesalahan persepsi bagaimana hubungan antara Islam dan negara, atau secara khusus hubungan antara Islam dan demokrasi. Hal ini terjadi karena bersumber dari pemahaman terhadap fiqih Islam dan sejarah memang selalu mengundang tafsir yang berbeda, sejarah bisa dibaca atau disalahpahami untuk menguatkan atau melemahkan suatu pandangan tertentu. Konstitusi Madinah telah dipakai oleh mereka yang berargumen bahwa komunitas teladan telah dibangun oleh Nabi Muhammad secara demokratis, dengan konsultasi (syura) sebagai sesuatu yang wajib, bahkan bagi Rasul sendiri. Adapun hak kewargaan diberikan secara adil kepada baik Muslim maupun non Muslim. Menurut paham ini, Madinah merupakan model ideal suatu negara Islam yang berdasarkan syura’ dan persamaan.
Islam sendiri menggunakan istilah musyawarah sebagai fondasi yang paling utama dalam kehidupan politik. Surat as-Syura’ ayat 38 menyatakan dengan tegas betapa pentingnya musyawarah:”Dan bagi orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang segala perkara mereka (diselesaikan melalui sistem) musyawarah di antara sesama mereka”. Selanjutnya dalam surat Ali Imran ayat 159 dinyatakan pula betapa pentingnya musyawarah dalam Islam, firman Allah: ”Maka disebabkan oleh rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” Prinsip ini sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau, baik pribadi maupun umum dan sepenuhnya diikuti oleh para penguasa Islam masa awal hingga saat ini.
Nabi Muhammad dalam memutuskan segala sesuatu selalu berpedoman pada al-Quran, namun dalam hal-hal yang tetentu yang belum diatur dalam Alquran, beliau tidak jarang mengajak musyawarah para sahabatnya. Sebagai contoh adalah ketika terjadi perang badar, “…ketika Nabi saw menempatkan pasukan sahabat pada suatu posisi sewaktu perang Badar, kemudian Hubab ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh bertanya: “ini perintah yang diturunkan Allah kepada engkau atau pendapat dan musyawarah” Nabi menjawab: “ini hanyalah pendapat dan musyawarah”. Maka dia (al-Hubab) menyarankan kepad Nabi posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslim, dan Nabi menerima sarannya itu.”
Kalau dikaitkan dengan konteks negara modern yang jauh lebih kompleks seperti sekarang ini, proses musyawarah yang dijalankan pada zaman Nabi sebenarnya secara substantif tidak berbeda dengan apa yang diperlihatkan dalam proses politik saat ini, yaitu apa yang dikenal dengan representative democracy, karena kita juga memahami bahwa Nabi melakukan musyawarah tidak melibatkan semua warga masyarakat yang telah memiliki ‘political franchise’, akan tetapi musyawarah yang melibatkan para sahabat yang tentu saja sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakatnya.
Begitu juga dalam persamaan derajat yang merupakan bagian dari unsur demokrasi, dalam surat al-Hujurat ayat 13 dinyatakan: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dalam sebuah hadis juga pernah diriwayatkan bahwa Nabi secara tegas menyatakan tidak ada kelebihan antara orang Arab dan orang yang bukan Arab, yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah. Di dalam menjalankan roda pemerintahan, Nabi Muhammad kemudian merumuskan apa yang dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” yang menjamin persamaan hak antara berbagai suku yang ada pada waktu itu dan mensyaratkan adanya satu persatuan sebagai landasan dalam hidup bernegara. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad menyatakan dengan tegas pula bahwa kaum wanita pun seperti halnya kaum pria mempunyai hak untuk ikut berperang kalau keadaan memungkinkan.
Islam, Demokrasi, dan Pemilu Serentak 2024
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan pemilu adalah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pengertian ini jelas bahwa pemilu merupakan sarana, bukan tujuan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pemilu semua pihak harus memanfaatkan sarana ini secara baik dan benar demi terwujudnya kedaulatan rakyat.
Demokrasi maupun pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana atau alat pegembalian hak ummat untuk memilih para pemimpin ummat maupun memilih wakilnya yang nantinya akan berbicara, menyampaikan pendapat, menuntut, membela dan melindungi hak-haknya dari hal-hal yang merugikan. Oleh karena itu demokrasi maupun pemilu mempunyai kedudukan yang amat strategi bagi terwujudnya pemerintahan yang amanah sesuai dengan kehendak dan cita-cita ummat.
Pemilihan umum menjadi bagian penting sebagai standar dan/atau kriteria awal apakah sebuah negara dikategorikan demokratis atau non-demokratis. Syarat negara demokratis, yang di dalamnya termasuk adanya pergantian pemimpin secara berkala, menuntut untuk perlu diadakan pemilihan umum secara rutin dalam kurun waktu tertentu. Namun sebenarnya, momentum pemilihan umum dapat dimaknai lebih dari sekadar memilih dan/atau merotasi pemimpin. Pemilu adalah salah satu langkah awal dalam upaya melakukan transformasi dan perbaikan secara struktural demi tercapainya tujuan-tujuan mulia berbangsa dan bernegara menggunakan instrumen kekuasaan rakyat. Sejalan dengan hal itu, jika dikaitkan dengan konteks keumatan Islam, maka pemilihan umum harus dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi, sekaligus upaya pembenahan dan perbaikan, serta perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya bagi kepentingan dan aspirasi umat Islam.
Semenjak awal kemerdekaan di tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan sebanyak 12 kali Pemilu dan dalam waktu dekat akan segera dihelat Pemilu yang keenam semenjak masa reformasi (tahun 2024). Dari Pemilu yang sebanyak itu, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dari masa ke masa memiliki perbedaan satu sama lain, tergantung model kepemimpinan dari pemimpin yang berkuasa. Dari Pemilu yang sebanyak itu pula, umat Islam telah turut serta menyemarakkan pesta demokrasi di negeri ini, baik sebagai peserta Pemilu dengan cara membentuk partai politik, ataupun sekadar menjadi pemilih yang suaranya diperebutkan oleh peserta. Dalam konteks Pemilu 2024 serentak nanti, umat Islam bukan hanya dihadapkan pada pemilihan perwakilan di Dewan Perwakilan, melainkan juga pemilihan pemimpin negara secara langsung untuk yang kelima, setelah Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019, serta pemilihan pemimpin di tingkat daerah, baik Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam konteks Pemilu di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa atas wajibnya memilih pemimpin dalam Pemilu. Hal ini tertuang dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Padang Panjang pada 26 Januari 2009 / 29 Muharram 1430 H, yang menyatakan bahwa: (1) Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa; (2) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan Imamah dan Imarah dalam kehidupan bersama; (3) Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat; (4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib; dan (5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Perjuangan politik Islam adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam semesta. Mengingat, latar belakang historis format perjuangan umat Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat, maju, adil, sejahtera, dan bermartabat, dianjurkan kepada seluruh umat Islam di Indonesia untuk melanjutkan tradisi perjuangan tersebut. Salah satu langkah termudahnya adalah dengan memilih pemimpin dan wakil yang berdasar pada ijtihad pribadi telah memenuhi standar untuk mampu mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam di masa kini dan masa yang akan datang.
Pentingnya memanfaatkan momentum Pemilu Serentak tahun 2024 untuk mewujudkan pemerintahan dan kepemimpinan yang adil berdasar aspirasi umat dan kepentingan bangsa, maka memilih pemimpin dan wakil di Parlemen menjadi sesuatu yang sangat diperlukan. Apabila setiap warga negara, terutama kaum Muslimin, memiliki kesempatan untuk memilih dan telah terdaftar sebagai pemilih yang sah, maka alangkah baiknya untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu, sebagai seorang Muslim, memilih bukan hanya diniatkan untuk kepentingan dunia atau sekadar menjalankan hak yang diakui dalam konstitusi, melainkan meniatkannya untuk mewujudkan Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur, Islam yang Rahmatan lil Alamin, sekaligus doa agar setiap pemimpin dan wakil yang dipilih dan terpilih adalah mereka yang selalu dirahmati oleh Allah SWT dan mampu menciptakan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam Demokrasi....
(Banten Pos, 5 Januari 2022)