
MAULID NABI MUHAMMAD, DEMOKRASI DAN SPIRIT REFORMASI SOSIAL
MAULID NABI MUHAMMAD, DEMOKRASI DAN SPIRIT REFORMASI SOSIAL
Oleh : Zaenal Mutiin
Anggota KPU Kabupaten Serang
Hampir lebih dari 15 abad yang lalu, kelahiran Nabi Muhammad memang sudah ditunggu-tunggu bangsa Arab yang konon selalu disindir oleh bangsa-bangsa lainnya sebagai bangsa yang “terbuang” dan luput dari skenario sang Maha Agung. Di saat Romawi dan Persia pada saat itu memiliki peradaban, bahkan telah memiliki agama atau keyakinan serta kitab suci, bangsa Arab merupakan bangsa yang terkucilkan, tidak memiliki seseorang yang khusus dikirimkan Tuhan kepada mereka. Mereka bahkan tidak memiliki kitab suci yang selalu dibanggakan bangsa-bangsa lainnya.
Bangsa Arab yang didominasi tribalisme hanya berkonsentrasi mencari uang dan mempertahankan dominasi kesukuannya masing-masing, sehingga sering kali kekerasan timbul silih berganti dan menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa “lemah”. Keadaan ini justru berubah, setelah pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal 570 Masehi, Muhammad lahir dari keturunan bangsa Arab, melalui rahim seorang ibu bernama Aminah.
Sudah tak terhitung jumlahnya tulisan sejarah yang mengangkat perjalanan hidup Nabi Muhammad. Misalnya, Michael H Hart, dalam The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah. Thomas Carlyle, dalam On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History, memposisikan beliau sebagai orang terpenting dari aspek kepahlawanan. Marcus Dodds, dalam Muhammad, Budha, and Christ, menyebut beliau sebagai tokoh paling berani secara moral. Will Durant, dalam The Story of Civilization in The World, menempatkan beliau sebagai orang pertama dilihat dari hasil karyannya. Sementara, dalam Muhammad al-Rasul wa al-Risalah, Nazame Luke menempatkan ajaran Nabi sebagai yang paling perfectable. Yang pasti, semuanya berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia teragung dalam sejarah. Penilaian ini tentu tidak berlebihan. Bahwa Nabi Muhammad adalah manusia multidimensional. Sosok pemimpin yang alim, politikus yang agamawan, dan panglima yang menawan. Pemimpin yang membela hak-hak kaum tertindas. Beliau bukan hanya meneriakkan reformasi politik di dunia Arab kala itu, tetapi juga menggulirkan revolusi sosial-kultural menuju sebuah sistem yang egaliter, humanis, dan toleran. Itulah sosok manusia ideal yang sudah sepantasnya menjadi top-model (uswatun-hasanah) bagi segenap manusia di seantero dunia.
Robert N. Bellah dalam buku Beyond Belief (1976) mengatakan: “Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah Nabi Muhammad sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat ini belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi”. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun Negara Madinah, sehingga dijadikan representasi negara modern, disebabkan karena beliau telah berhasil meletakkan fondasi dan konstruksi masyarakat madani dengan menggariskan etika dan tanggung jawab bersama dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Nabi Muhammad dan Demokrasi Berkeadaban
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyhur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah). Sedangkan dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir. Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad 20. Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad, termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syura), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
Nabi Muhammad disamping mempunyai tugas sebagai pembawa risalah Ilahiyah, beliau juga adalah pemimpin masyarakat politik ketika berada di Madinah sampai akhir hayatnya, beliau melakukan perubahan yang besar di tengah masyarakat yang nomadik, beliau membentuk sistem masyarakat yang berkeadaban dan menciptakan persaudaran yang lebih luas melintasi suku dan ras. Kepemimpinan politik yang beliau lakukan dengan baik dan meninggalkan catatan sejarah untuk dijadikan teladan bagi generasi sesudahnya.
Dalam upaya mengembangkan prinsip demokrasi berkeadaban itulah, kita bisa menggali warisan pemikiran dan praktik yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Selain sebagai pembawa risalah agama, dalam kehidupannya Nabi Muhammad juga mengemban amanah sebagai pemimpin politik. Jauh sebelum para filosof politik Barat menyusun teori tentang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan jender dan sejenisnya, Nabi Muhammad sebenarnya telah meletakkan dan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadaban itu, baik ketika periode awal di Makkah juga kehidupan pasca hijrah ke Madinah.
Periode awal masa kenabian di Makkah, Nabi Muhammad menghadapi realitas sosial-politik masyarakat Arab yang serba timpang. Ketimpangan itu terlihat dari ketatnya stratifikasi sosial masyarakat Arab yang membedakan hak dan martabat manusia berdasarkan suku, jenis kelamin dan status sosialnya.
Dalam konteks kesukuan masyarakat Arab sangat mengistimewakan kedudukan kelompok Quraisy sebagai golongan mayoritas ketimbang suku non-Quraisy. Sedangkan dari perspektif jenis kelamin, kedudukan laki-laki selalu diposisikan lebih tinggi ketimbang perempuan. Begitu pula dalam konteks status sosial, dimana budak dan majikan dihubungkan dengan corak relasi hirarkis, dimana budak adalah milik mutlak tuannya.
Misi kenabian pertama yang harus dijalani Nabi Muhammad ialah mereformasi sistem sosial-politik yang serba timpang tersebut. Ajaran Islam yang ia bawa mensyaratkan pemeluknya untuk berucap syahadat. Secara teologis, syahadat adalah pengakuan atas kebertunggalan Allah dan pengakuan atas status Muhammad sebagai utusan Allah. Sedangkan secara sosio-politis kalimat syahadat adalah deklarasi atau manifesto bahwa semua manusia pada dasarnya setara, dan tidak ada yang berhak menguasai manusia selain Allah SWT. Untuk itulah ia harus berhadapan dengan elite-elite dalam struktur sosial masyarakat Arab yang tidak ingin kekuasaan dan previlesenya diusik.
Tegaknya Demokrasi di Madinah
Piagam Madinah adalah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban Islam. Piagam Madinah merupakan sebuah pencapaian spektakuler dari seorang pemimpin umat dan pemimpin politik. Piagam Madinah menandakan bentuk Negara demokratis yang mengusung kebebasan semua orang untuk menjalankan agamanya, keyakinannya, tanpa ada urusan-urusan hukum yang diatur oleh Negara.
Salah satu hal penting dari prinsip demokrasi di Madinah adalah lahirnya kesetaraan. Semua kalangan dirangkul untuk bicara persoalan bersama dalam rangka membangun komunitas yang demokratis. Dalam piagam Madinah terdapat prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, jaminan perlindungan, dan sebagainya, yang semuanya telah menegakkan Madinah sebagai konsepsi ideal sebuah Negara demokratis. Setelah tegaknya sistem demokratis di Madinah. Nabi telah menetapkan asas-asas toleransi antar pemeluk agama. Piagam Madinah telah berhasil mengakhiri fanatisme kesukuan. Fanatisme kesukuan berkecenderungan menutup diri dan arogansi yang berlebihan. Toleransi yang dibangun Nabi adalah bentuk kepedulian pentingnya sikap terbuka dan toleran kepada kelompok lain.
Kondisi masyarakat Madinah dan Indonesia memiliki kesamaan, yakni kemajemukan. Baik di Madinah maupun di Indonesia keduanya memiliki keragaman penduduk, dari latar belakang agama maupun budaya. Dari sini dapat dipahami keduanya memiliki kemiripan ketika kemajemukan dipandang sebagai unsur penting dalam membangun sebuah konstitusi. Kondisi di Indonesia kurang lebih sama. Indonesia hingga saat ini mayoritas berpenduduk muslim, namun konstitusi tidak menjadikan Islam sebagai basis dasar aturan Negara, namun Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Pancasila. Kemajemukan di Indonesia merupakan identitas tanah air yang tidak bisa disangkal oleh siapapun. Pancasila adalah representasi keragaman di Indonesia. Semua orang bisa hidup, mendapatkan jaminan, berkeyakinan atas dasar perlindungan oleh Negara. Indonesia memiliki banyak ragam budaya, agama, dan terdiri dari pulau-pulau, dan nilai-nilai Pancasila lah yang menjadikan sebuah komunitas berbangsa yang satu, yakni Bhineka Tunggal Ika.
Piagam Madinah dan Pancasila adalah portal demokrasi. Keduanya memberikan jaminan kepada semua orang dalam rangka menjalankan segala aktifitasnya tanpa ada diskriminasi dari siapapun, meskipun itu adalah Negara, jika setiap aktifitas tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme maka ia tetap menjadi warga Negara yang baik.
Meskipun kekuasaan dipegang kaum muslimin, dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai pemimpin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non muslim. Mereka masih diberi kebebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hubungan ini dibangun dalam rangka menyelenggarakan kepentingan bersama. Jika salah satu pihak mengkhianati perjanjian, maka Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan dapat menindak orang-orang yang melanggar perjanjian tersebut.
Selama kurun waktu satu dekade, Nabi Muhammad berhasil membangun peradaban di kota Madinah, hingga Islam tersebar dengan damai ke beberapa wilayah seperti Syam dan Ethiopia. Keberhasilan ini tercapai tak lepas dari kepiawaian Nabi Muhammad dalam berpolitik, ditambah lagi dengan budi pekerti dan kebijaksanaan beliau dalam menghadapi berbagai persoalan di berbagai lini, baik agama, sosial, maupun politik.
Maulid Nabi Muhammad dan Spirit Reformasi Sosial
Islam hadir ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu ”Jahiliyah”. Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk berkreasi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama-sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Dengan tegas Al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Membangun kesejahteraan semesta, bukan menindas bangsa-bangsa. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus selalu dikedepankan dalam membangun Indonesia masa mendatang. Potensi nalar agama akan sanggup menopang perjuangan penegakan demokrasi di Nusantara. Sehingga pada gilirannya proses demokratisasi tidak akan kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang semacam hedonisme dan materialisme. Kalau kita lihat dari kacamata kemanusiaan bahwa konsep demokrasi merupakan benar-benar memberi pendidikan kepada masyarakat luas tentang. “Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan keselarasan”.
Terlepas dari arti secara harfiah dimana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari dan untuk rakyat yang memberi kesan bahwa dalam sistem pemerintahan seperti ini rakyat adalah segalanya, demokrasi memiliki esensi yang lebih penting. Esensi penting yang dikandung demokrasi adalah menghapuskan diktator mayoritas dan tirani minoritas yang banyak terkandung dalam sistem pemerintahan lainnya. Demokrasi mengisyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap individu. Sehingga dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak suara yang sama dan berhak untuk didengar. Dalam negara demokrasi seharusnya tidak akan ada pemerintah yang otoriter yang memaksakan kehendaknya atau kehendak golongannya. Setiap warga negara dilindungi haknya oleh negara. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dimana setiap umat manusia adalah sama kedudukannya di mata Allah SWT yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
Spirit reformasi sosial yang diwariskan oleh Nabi Muhammad itulah yang idealnya kita praktikkan hari ini. Peringatan Maulid Nabi Muhammad sudah sepatutnya tidak hanya diisi dengan hal-hal seremonial belaka, tanpa ada pemaknaan atas keteladanan yang telah ia wariskan. Dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini yang tengah diwarnai polarisasi dan perpecahan, meneladani visi sosial Nabi Muhammad adalah sebuah keharusan.
Dengan meneladani spirit Nabi Muhammad, bangsa Indonesia harus membangun kembali solidaritas keumatan. Yakni ikatan sosial yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan tanpa memandang identitas agama, suku, ras, jenis kelamin dan afiliasi politik. Lantaran pada dasarnya, semua entitas yang tinggal di bumi Indonesia ini adalah satu saudara dalam keumatan, meski mereka berbeda suku, agama, ras dan ideologi politik. Selamat Maulid Nabi Muhammad 1443 H/2021M. (Banten pos, selasa 19 oktober 2021)