PENDIDIKAN DEMOKRASI: DARI KELUARGA SEMUA BERMULA

PENDIDIKAN DEMOKRASI: DARI KELUARGA SEMUA BERMULA

Oleh : Zaenal Mutiin

Anggota KPU Kabupaten Serang

 

Derasnya arus demoralisasi akibat maju­nya teknologi komunikasi dan infor­masi saat ini membuat anak-anak mudah meniru perilaku tak bermoral yang didapatkan dari media-media sosial. Disinilah, keluarga adalah agen yang tepat untuk menciptakan kondisi ramah bagi pena­naman nilai-nilai moral, se­hingga anak bisa belajar mengenai betapa menjunjung tinggi akhlak menjadi hal penting dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Akhir-akhir ini marak perilaku tak berakhlak yang menjangkiti para pelajar. Guru yang tak lagi dihormati dan bahkan ada yang dipermalukan/dianiaya serta tawuran dan perkelahian antarsiswa merupakan bukti betapa pendidikan demokrasi harus menjadi perhatian utama dalam pendidikan. Namun demikian, dengan masih banyaknya perilaku tak menunjukkan akhlak yang dilakukan oleh murid, anggapan bahwa sekolah gagal mendidik siswa tidak sepenuhnya tepat. Hal ini karena pendidikan mencakup pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Secara prinsip, keluargalah yang memiliki tanggung jawab utama dalam pendidikan anak.

Perlu dipahami, tugas mendidik bukan hanya kewajiban institusi pendidikan. Banyak orang tua yang berpikiran, men­didik hanya tugas sekolah. Kalau sudah di sekolah, ya tugas mereka merasa selesai. Kalau ada kesalahan anak, orang tua menyalahkan sekolah. Mereka tak mau menengok diri. Mereka tak mau memperbaiki cara asuh dalam keluarga.

Orang tua sebagai pendidik dan lingkungan pertama yang dimiliki oleh setiap anak memiliki bertanggung jawab besar atas terben­tuknya segala karakter. Perhatian orang tua harus mampu menyediakan pendi­dikan yang tepat membentuk karakter anak sejak dini. Sebab, karakter anak di masa mendatang cerminan pendidikan masa kecil. Artinya, jika sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan sikap toleran dengan kebhinnekaan, niscaya dia juga akan berbuat demikian di masa depan.

Jadi, pentingnya pendidikan dalam keluarga seyogyanya menyadarkan orang tua betapa perilaku tak berakhlak seringkali dipicu oleh kondisi kehidupan keluarga yang tidak kondusif. Orang tua kerap lebih disibukkan urusan mencari materi, sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak. Pada­hal, sen­tuhan emosi dan komunikasi dapat me­nyebabkan anak merasakan keha­ngatan dan perhatian orang tua. Ini dapat men­cegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif dan melakukan tindakan tidak berakhlak. 

 

Keluarga dan Pendidikan Demokrasi

Keluarga sebagai bagian integral dari masyarakat menjadi miniatur yang merepresentasikan kondisi masyarakat. Komunitas keluarga menjadi pondasi penentu bagi keberlangsungan entitas masyarakat. Masyarakat tersusun dari banyak keluarga dan keluarga terdiri dari beberapa individu. Pada dasarnya, baiknya suatu masyarakat tergantung kepada baiknya keluarga-keluarga dan baiknya suatu keluarga tergantung kepada baiknya individu-individu dalam keluarga, sedang baiknya          individu tergantung kepada pembawaan dan lingkungan yang baik.

Sosialisasi primer seorang manusia berada di dalam ke­luarga, sedangkan lingkungan, teman sepermainan, sekolah, maupun media massa (internet, koran, majalah, buku, dan lain-lain) hanya agen sosialisasi sekunder bagi manusia. Setiap per­masalahan dalam diri, memiliki keterkaitan erat dengan kondisi sosialisasi yang dijalani dalam keluarga. Nilai-nilai, norma-norma, dan keya­kinan manusia dibangun dari keluarga. Keluargalah yang paling dominan membentuk sikap, perilaku, dan kepri­badian manusia.

Disinilah pentingnya ada penyadaran politik di tengah masyarakat dimulai dari keluarga. Karena keluarga adalah cikal bakal masyarakat yang sadar politik. Pendidikan demokrasi dalam keluarga harus dimulai dari pasangan suami istri, kemudian kepada anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya. Selama ini masih sedikit yang memahami pentingnya pendidikan demokrasi dalam keluarga.

Peran keluarga dalam satuan pendidikan anak tidak sebatas pemenuhan dukungan terhadap materiil, sandang, namun juga menguatkan karakter demokratis. Akibatnya muncul pemahaman yang salah terhadap demokrasi, politik itu kotor, politisi itu buruk, salah satunya disebabkan tidak adanya pendidikan demokrasi sejak dini dalam keluarga. Minimnya pendidikan demokrasi yang bersih, santun, jujur, dan visioner itulah menjadikan generasi muda kita apolitis dan menilai politik selamanya kotor. Padahal, politik itu suci, ia adalah siyasah dan metode memilih pemimpin yang sah. Keluarga harus menjadi pelopor pendidikan demokrasi untuk membangun generasi yang melek politik.

Pendidikan demokrasi dalam keluarga sangat strategis membangun generasi yang melek demokrasi. Sebagai warga negara yang hidup dengan sistem demokrasi, anak-anak sejak dini harus dididik dengan pendidikan demokrasi berbasis Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Pendidikan demokrasi dalam keluarga harus dikuatkan lewat literasi politik tentang pengertian, macam, dan praktik demokrasi bersih,  hak dan kedaulatan rakyat  serta berperan serta dalam Pemilihan Umum.

 

Pendidikan Demokrasi: Dari Keluarga Semua Bermula

Bukan hanya di ranah pemerintahan, demokrasi juga patut diterapkan di lingkungan masyarakat paling inti yaitu keluarga. Istilah demokrasi yang berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) itu, bisa diaplikasikan dalam pola asuh, komunikasi, hingga pengambilan keputusan dalam keluarga. Setiap anggota keluarga terutama anak dapat bereksperimentasi dalam ruang keluarga yang lebih demokratis. Interaksi dalam keluarga adalah dari, oleh dan untuk anggota keluarga, orang tua menjadi pendamping yang setia mengasuh, mengasihi, mengawasi dan mengarahkan.

Sebagian besar manusia hidup di dalam lingkungan keluarga sehingga keluarga memiliki peranan yang sangat penting di dalam pelaksanaan demokrasi. Keluarga-keluarga yang demokratis akan membentuk masyarakat yang demokratis dan jika berkembang akan membentuk kehidupan bernegara yang demokratis. Mengingat betapa pentingnya kehidupan di dalam keluarga maka perlu dikembangkan sikap positif terhadap pelaksanaan demokrasi di dalam kehidupan keluarga.

Konteks demokrasi dalam pendidikan Demokrasi di keluarga memberikan kesempatan seluasnya kepada seluruh anggota keluarga untuk mengembangkan potensi (fitrah). Batasan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak, pendidikan anak, perbedaan gender laki-laki perempuan, tugas dan tanggungjawab suami istri. Mulai saat terbentuknya sebuah keluarga melalui ikatan pernikahan sampai pada interaksi selanjutnya dalam keseharian rumah tangga. Persamaan hak dan kebebasan yang terarah untuk mencapai sebuah tujuan keluarga turut menciptakan masyarakat demokratis..

Beberapa sikap yang perlu ditumbuhkan dalam keluarga, yakni : sikap  menghargai pendapat semua anggota keluarga. Beberapa orang tua masih sulit untuk mendengarkan penjelasan dari seorang anak karena menganggap bahwa orang tua selalu benar. Keberanian bertanya dan mengemukakan pendapat sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, harus dimulai dari keluarga. Lewat kegiatan sederhana, orang tua harus mengajarkan anak-anak untuk hidup demokratis. Melalui kegiatan di rumah seperti ketika membeli kebutuhan rumah tangga, menentukan keputusan, harus diajarkan pada anak sehingga muncul sikap demokratis dalam ucapan dan tindakan.

Selain itu, orang tua tidak memaksakan kehendak kepada sesama anggota keluarga, ayah dan ibu perlu menghindari sikap otoriter. Bila seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, kemungkinan dia tidak cukup berani bertanya dan berpendapat. Ibu dan ayah harus mau mendengarkan pendapat anak, dan sekaligus menyadari bahwa tidaklah selalu pendapat orang dewasa yang harus menang. Dari hal-hal yang kecil, orang tua bisa mengajarkan demokrasi pada anak. Pelajaran demokrasi bukan hanya bermanfaat untuk anak, tapi orang tua menjadi kunci keberhasilan dari pelajaran demokrasi itu sendiri.

Sistem paling populer yang dianut bangsa Indonesia  juga perlu diadopsi ke dalam keluarga dan harus dipupuk sejak anak usia dini. Dalam kehidupan keluarga modern dan demokratis, dituntut adanya pola komunikasi baru sebagai sarana interaksi antara orang tua dan anak. Setiap keluarga dapat memanfaatkan situasi yang unik, baik di meja makan, ketika menonton televisi, atau suasana lain yang bisa dikembangkan, agar terjadi komunikasi dua arah yang menyenangkan antara anggota keluarga. Iklim dialogis dan keterbukaan di lingkungan keluarga bisa menumbuhkan anak-anak untuk berkomunikasi. Mereka terlatih untuk bisa menerima dan mendengarkan orang lain.

Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan demokrasi. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta nilai-nilai demokratis dalam diri anak. Jika anak-anak ditumbuhkan dalam suasana cinta dan kasih sayang, akan membentuk karakter cinta, kasih dan sayang dalam jiwa dan kehidupan mereka. Sebaliknya anak-anak yang tumbuh dalam suasana kekerasan, akan mudah mentransformasikan kekerasan itu dalam perilaku sosial dan politik mereka.

Simbol-simbol yang ada dalam keluarga juga merupakan bagian dari pendidikan demokrasi. Simbol-simbol demokrasi bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan nilai nilai demokrasi. Bahkan sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran anak-anak daripada simbol-simbol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya dalam hal internalisasi nilai-nilai demokrasi.

Pola asuh orang tua juga dituntut untuk dapat melihat situasi dan kondisi serta perkembangan anak. Seperti orang tua memberikan tugas kepada anak tentang tanggungjawab di rumah, kebebasan dalam pergaulan, keadilan dalam sebuah keputusan urusan keluarga dan memberikan seluas-luasnya anak untuk mengemukakan pendapatnya, sehingga disebut sebagai orang tua yang demokratis dalam membimbing dan mengasuh anaknya. Namun demikian, pemberian pola asuh ini, harus diimbangi dengan pengawasan dan penguatan terhadap nilai, ilmu, agama, akhlak (moral) dan karakter yang seimbang.

Semua itu intinya ada pada keluarga sebagai “madrasah pertama”. Demokratis dan tidaknya anak-anak sangat ditentukan pola pendidikan, pembelajaran, dan percontohan nyata dalam keluarga tentang demokrasi. Sudah saatnya semua anggota keluarga memahami pendidikan dan demokrasi bukanlah hal yang kontradiksi, namun justru bisa sejalan dan diterapkan di dalam keluarga. Jika pendidikan demokrasi tidak diterapkan dan dikuatkan dalam keluarga sejak dini, lalu kapan lagi? Salam Demokrasi...

Kabar Banten 04 Februari 2022

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 7,924 Kali.