PILKADES MENANG TANPA POLITIK UANG

PILKADES MENANG TANPA POLITIK UANG

Oleh : Zaenal Mutiin

Anggota KPU Kabupaten Serang

 

Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara sederhana, masyarakat memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di negara Indonesia diwujudkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan oleh rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum dilakukan untuk memilih pemimpin mulai dari presiden, kepala daerah, hingga kepala desa. Penyelenggaraan pemilihan kepala desa diserahkan kepada setiap pemerintahan desa karena desa memiliki hak otonomi dalam bidang politik dan pemerintahan.

Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.

Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Pemilik hak pilih pada pemilihan kepala desa semestinya berbeda dengan pemilik hak pilih pada pemilu lain. Idealnya, masyarakat desa  memiliki  ikatan  yang  kuat  sehingga mengenal calon kepala desa yang terlibat dalam kontestasi politik. Dengan mengenal calon kepala desa, mereka mampu menentukan pilihan tanpa menerima politik uang.

Praktik politik uang di Indonesia tumbuh sangat subur bagaikan jamur di musim hujan. Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut maka akan korupsi dengan absolut pula (Lord Acton 1833-1902). Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap praktik politik uang merupakan suatu kewajaran dalam penyelenggaraan pemilihan umum, sehingga masyarakat tidak lagi peka terhadap bahaya-bahaya yang akan timbul dikarenakaan praktik-paktik politik uang. Masyarakat membiarkan tindakan ini, karena tidak merasa bahwa politik uang secara normatif harus dijauhi. Sehingga semua itu berjalan sekaan-akan merupakan suatu hal yang wajar. Kendati jelas terjadi politik uang, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes.

Politik Uang; Korupsi Politik dan Politik Korupsi

Politik Uang (Money politic) dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang yaitu pertukaran sejumlah uang dengan posisi/kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai. Politik Uang dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum untuk Presiden.

Pengertian lain Politik Uang Menurut Hamdan Zoelva (Gustia, 2015 : 28),  Politik Uang adalah upaya mempengaruhi perilaku pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi (uang atau barang). Demikian juga mempengaruhi penyelenggara dengan imbalan tertentu untuk mencuri atau menggelembungkan suara, termasuk membeli suara dari peserta atau calon tertentu.

Politik uang merupakan salah satu fenomena dalam sistem politik yang dapat mendeligitimasi mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi politik yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. Partisipasi politik masyarakat dengan demikian tidak didasarkan pada political literacy yang mereka miliki, akan tetapi dikungkung oleh keharusan memberikan preferensi atas kontestan yang memberikan uang dengan jumlah terbesar. Dengan praktek uang seperti itu, politik akan bergeser dari mekanisme mewujudkan kepentingan bersama (common good) ke proyek bisnis. Hal tersebut juga menjadikan adanya lingkaran tiada putus antara politik korupsi dan korupsi politik.

Perilaku politik uang, dalam konteks politik sekarang, sering kali diatasnamakan sebagai bantuan, dan lain-lain. Pergeseran istilah politik uang ke dalam istilahan moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat yang memang membiasakan tindakan itu terjadi. Tatkala masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal hukum formal akan kesulitan untuk menjangkaunya. Karena itu dibutuhkan kerangka kerja tafsir untuk memahami setiap makna yang tersimpan di balik perilaku politik (political behaviour) sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik antara pemberian yang sarat dengan nuansa suap, dan pemberian dalam arti sesungguhnya sebagai bantuan.

Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar. Sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi. Thus, fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah (demos) dan para elit politik di desa, yaitu nilai non demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi hakiki (substantive democrarcy).

Sebenarnya praktik-praktik politik uang yang membudaya di dalam setiap kontestasi yang di selenggarakan terkhususnya dalam pilkades sangatlah banyak menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan negara. Mekanisme elektoral demikian tentu sangat mahal (high cost mechanism). Dan hal itu akan menyeret kekuasaan yang diraih ke dalam perilaku politik “balik modal”. Ambisi kekuasaan yang begitu besar dengan cara-cara yang tidak terhormat demikian akan menghasilkan perilaku politik rendahan di tataran pemegang kekuasaan politik. Jika demikian yang terjadi maka demokrasi memberikan ruang terciptanya kapitalisme baru melalui praktek kompetisi yang tidak sehat.

Pidana dan Politik Uang Pilkades

Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.

Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk.

Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan pelaksana dari UU Desa juga tidak mengatur, baik PP No. 43 tahun 2014, PP No. 47 tahun 2015, maupun perubahan yang kedua pada PP No. 11 tahun 2019. Peraturan Daerah yang diberikan mandat atributif oleh undang-undang untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak, di seluruh kabupaten/kota juga tidak mengatur terkait politik uang, baik dalam dimensi hukum administratif maupun hukum pidana.

Dalam prakteknya penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang baik  dalam pemilu dalam semua tingkatannya sering tidak mudah. Problem tersebut lebih merupakan problem struktur penegakan hukum yang sering tidak responsif dan kehilangan momentum dalam melakukan penegakan hukum. Faktor yang juga signifikan adalah masih banyak bagian masyarakat kita yang abai dengan tindak pidana politik uang. Sedikit diantara anggota masyarakat yang mau memberikan kesaksian dalam hal terjadi tindak pidana politik uang. Dalam konteks pemilihan kepala desa politik uang cenderung dibiarkan dan dalam penegakan hukum juga sering luput dari perhatian penegak hukum.

Hukum pidana berfungsi melindungi kepentingan individu, masyarakat dan negara. Dengan ditegakkannya  pasal 149 KUHP terhadap tindak pidana politik uang dalam pemilihan kepala desa diharapkan dapat mewujudkan pemilihan kepala desa yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu akan memberi jaminan kepada warga desa untuk mendapatkan pemimpin lokal yang berintegritas dan tidak sibuk memulihkan modal politik ketika menjabat sehingga akan benar-benar menerapkan filosofi sebagai pamong masyarakat.

Pasal 149 ayat (1) dan (2) bisa menjadi pemecah dari kebuntuan penegakan hukum dalam politik uang pada pemilihan kepala desa. Pasal 149 ayat (1): Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.

Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa.  

Peninjauan kembali UU Desa agar perundangan tersebut menjadi acuan yang tegas dalam menjalankan pemerintahan desa. Hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah sehebat apa pun dan seberat apa pun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik uang, sangat tidak berarti jika tidak dilandasi kesadaran masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.

Perlu waktu yang lama untuk menghilangkan budaya politik uang di pilkades, tetapi bukan berarti tidak bisa, dan ini menjadi pekerjaan kita semua. Justru pada tataran pemerintahan desa, seharusnya pemerintah peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini.

Suara dijual, Kedaulatan digadai

Pilkades adalah proses melibatkan warga negara ke dalam proses pemerintahan. Masyarakat dilibatkan secara aktif untuk menentukan siapa yang berhak mengendalikan pemerintahan di desa alam periode waktu tertentu. Proses ini mengandaikan adanya kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang berdaulat berhak menentukan siapa yang memegang kekuasaan dan mengatur kehidupan warga negara.

Politik uang atau jual beli suara pada dasarnya adalah membeli kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat yang menerima uang sebenarnya menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu tertentu. Jika masyarkat telah menggadaikan kedaulatan kepada penguasa maka pada dasarnya masyarakat tidak bisa mengklaim kedaulatan itu kembali. Setidaknya masyarakat tidak punya hak untuk menuntut penguasa memberikan perhatian kepada kepentingan dan kebutuhannya, karena masyarakat sudah menerima imbalan atas legitimasi yang sudah diberikan kepada mereka (penguasa). Konsekuensinya, masyarakat tidak lagi berhak marah apabila mereka (penguasa) korupsi, atau menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.

Praktik politik uang yang menciptakan korupsi politik ini telah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam setiap perhelatan pemilu/pilkada/pilkades. Tentu, perlu adanya upaya untuk mencegah peraktik politik uang dan menyadarkan masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan praktik yang merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, praktik politik uang ini menjadi corong utama penyebab munculnya pemimpin yang korup dan tidak pro terhadap rakyat. Maka menyadarkan masyarakat untuk melakukan perlawanan politik uang ini sangat penting untuk memposisikan masyarakat sebagai good citizen. Serta memposisikan masyarakat sebagai kontrol roda pemerintahan. Sehingga pemerintahan desa yang demokratis benar-benar akan terwujud dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai...Salam Demokrasi...Salam Sehat...

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 500 Kali.