TEKHNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL (Bagian-2 Habis)
TEKHNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL
Oleh : Zaenal Mutiin
Anggota KPU Kabupaten Serang
Sebagai contoh, sistem Direct Recording Electronic (DRE) dengan kartu audit, meskipun memungkinkan untuk diaudit dan serta memungkinkan adanya penghitungan suara ulang, tetapi kertas audit yang berisi nomer transaksi pemilih beserta pilihannya mengancam prinsip rahasia dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh sebab itu, sekalipun menggunakan teknologi, sistem pemilu tak akan tersulap dalam sekejap mata menjadi sempurna.
Baik partai politik, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat sipil, menilai penggunaan teknologi dalam pemilu perlu ditingkatkan. Namun, pada realitanya, adopsi teknologi dihadapkan pada sejumlah persoalan dan tantangan dalam rangka menjawab pertanyaan sejauh mana penggunaan teknologi dalam pemilu mampu meningkatkan kualitas pemilu. Berangkat dari persoalan tersebut, nampak ada kebutuhan untuk membuat sebuah panduan penggunaan teknologi yang tepat guna dan tak kontraproduktif, untuk membantu kerja penyelenggara pemilu, tetapi tanpa mengesampingkan azas dan prinsip pemilu.
Berkaca dari pengalaman adopsi teknologi di berbagai negara, kepercayaan dari seluruh elemen masyarakat adalah faktor yang paling penting. Tanpa kepercayaan publik, sekalipun sistem yang digunakan tak bermasalah serta tak ada pihak yang memanipulasi sistem, tetapi pada akhirnya hasil pemilihan dengan teknologi bisa menjadi tidak memiliki legitimasi. Kunci untuk meraih kepercayaan publik adalah transpransi, profesionalisme, dan tersedianya mekanisme yang akuntabel. Kepercayaan publik merupakan hal yang paling mendasar dari suksesnya penerapan tekhnologi, bangunan kepercayaan publik dengna cara membangun kapasitas aturan hukum, kapasitas penyelenggara pemilu, kapasitas teknologi yang akan digunakan, dan kapasitas masyarakat sebagai pengguna teknologi. Penyelenggara pemilu wajib membangun kapasitas kelembagaannya dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga IT yang dimiliki. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu membiasakan penggunaan teknologi dari awal tahapan sebelum pemungutan dan penghitungan suara dilakukan hal ini dilakukan untuk untuk memperkuat modalitas kepercayaan publik sekaligus membangun budaya penggunaan teknologi. Upaya itu pada saat bersamaan akan memberikan pendidikan digitalisasi pemilu kepada pemilih agar mereka terinformasi dan memahami dengan baik cara kerja teknologi. Tidak kalah penting, penyelenggara pemilu perlu menyusun kerangka waktu yang cukup untuk mempersiapkan teknologi. Waktu adalah kerangka yang mengikat proses persiapan dan penerapan teknologi yang diadopsi. Penyelenggara pemilu harus memastikan tersedia waktu yang cukup lapang untuk mengkaji teknologi, menyiapkan regulasi, menerapkan uji coba berkali-kali, serta untuk menyebarkan informasi dan melakukan sosialisasi. Patut dicatat, bahwa proses penerapan teknologi tak memakan waktu sebentar. Masyarakat harus diyakinkan bahwa proses panjang tersebut, berikut biaya yang dikeluarkan, sepadan dengan hasil yang ingin dicapai, yakni pemilu yang bersih, jujur dan adil.
Penyelenggara pemilu diingatkan untuk bersikap transparan, akuntabel, serta membuka ruang partisipasi publik dalam setiap prosesnya. Pemilu adalah milik masyarakat dengan penyelenggara pemilu sebagai pelaksana. Dengan begitu, informasi mengenai tahapan-tahapan dan proses penyelenggaraan pemilu wajib dipublikasi di media yang mudah diakses oleh semua orang. Persepsi publik yang mempercayai proses dan hasil pemilu yang diumumkan penyelenggara pemilu. Tujuan ini hanya dapat tercapai apabila proses-proses di tingkatan bawahnya sudah terlebih dahulu diterapkan dengan baik. Tak ada gunanya menerapkan teknologi pemilu jika hal itu tak mendapatkan kepercayaan dari seluruh pihak. Oleh karena itu, agar pengadaan teknologi tidak sia-sia, penyelenggara pemilu sejak awal proses sudah harus melibatkan semua pihak.
Inovasi Tekhnologi Untuk Sukses Pemilu 2024
Pengunaan teknologi pemilu di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Pemilu 1999, Indonesia sudah menerapkan teknologi untuk mentabulasi hasil pemilu secara nasional. Pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu kemudian diintensifkan sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019. Sekalipun sampai pada pemilu terakhir, Indonesia tidak menerapkan e-voting, tetapi teknologi menjadi perangkat yang digunakan di hampir setiap tahapan pemilu. Secara umum, tujuan utama penggunaan teknologi di Indonesia yakni, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas setiap tahapan pemilu guna memperkuat kepercayaan dan legitimasi hasil pemilu. Ketua KPU Indonesia mempercayai pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu akan meningkatkan kualitas dan integritas pemilu (Lee dkk, 2017: 107).
Pengamat Pemilu, Ramlan Surbakti menilai bahwa penerapan e-voting pada Pemilu ataupun pemilihan belum relevan dengan permasalahan Pemilu di Indonesia. Ramlan mengatakan bahwa model pencoblosan dan penghitungan suara secara manual justru bisa lebih meminimalisir kecurangan dan kesalahan ketimbang sistem e-voting. Berdasarkan banyak kajian, permasalahan proses Pemilu di Indonesia sebenarnya bukan terletak pada proses pemungutan suaranya, namun dalam tahap penghitungan dan rekapitulasi suara. Sebab, tahapan inilah yang sering memunculkan manipulasi suara dan kecurangan secara berjenjang. Sedangkan, proses pemunguatan suara secara konvensional dengan cara mencoblos disertai dengan penghitungan secara terbuka di TPS, dinilai oleh para pengamat pemilu internasional sebagai proses yang paling transparan, karena penghitungan dapat disaksikan langsung oleh para saksi dan pemilihnya.
Sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2019, pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi suara dilakukan secara manual dan berjenjang dari TPS hingga ke tingkat nasional. Pemilih datang ke TPS dengan memberi tanda langsung di surat suara (mencoblos surat suara dengan paku). Mekanisme pemungutan suara manual ini dinilai sebagai salah satu tahapan paling demokratis dalam pemilu di Indonesia karena adanya pengawasan partisipatif yang dilakukan pemilih. Ada tradisi menarik yang hampir selalu terjadi di setiap pemilu di Indonesia. Pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara saja, tetapi setelah waktu pemungutan suara selesai pukul 13.00, pemilih beramai-ramai datang ke TPS untuk menyaksikan penghitungan suara manual. Proses penghitungan itu dilakukan petugas TPS dengan cara membuka satu per satu suara suara yang lalu ditunjukan ke saksi dari peserta pemilu, sekaligus pemilih yang hadir. Situasi ini berlangsung meriah dan secara tidak langsung mampu menimalisisasi adanya upaya kecurangan di TPS.
Oleh karenanya, perkembangan sistem e-voting saat ini lebih diarahkan untuk mengganti proses penghitungan dan rekapitulasi suara secara manual menjadi elektronik. Inilah salah satu alasan bagi KPU mulai membangun Sirekap agar publik dapat ikut memantau akurasi proses rekapitulasi secara berjenjang (e-counting), walaupun belum sepenuhnya dapat dilakukan secara real time.
Sirekap bisa memperpendek masa rekapitulasi penghitungan suara, sehingga rasa ingin tahu masyarakat dan kontestan terhadap hasil pemilu bisa dipenuhi dengan cepat, yang pada gilirannya akan mengurangi kerawanan dan ketidakpastian. (1) Sirekap mampu merekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat TPS (Formulir C1) secara cepat dan akurat, sehingga terhindar dari kesalahan teknis penghitungan suara akibat kealpaan, kesalahan, dan kelelahan petugas TPS, (2) Mesin Sirekap bekerja tanpa memperhitungkan emosi dan kepentingan para pihak, sehingga hasilnya bisa dipercaya Sirekap secara teknologi merupakan tahap yang paling mudah dibanding dengan e-voting dan e-counting, sehingga praktik pengembangan teknologi pemilu berjalan sesuai hukum teknologi: dimulai dari yang paling mudah, beranjak ke yang lebih sulit, lalu mencapai tahapan yang paling rumit, (3) Sirekap bisa didesain dan diproduksi di dalam negeri (Tim Kajian IT Pemilu KPU, 2016: 93).
Pada akhirnya Pemanfaatan teknologi informasi untuk pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 menjadi sebuah keniscayaan. Teknologi informasi mampu mempermudah dan meringankan beban penyelenggara dalam melaksanakan pemilu yang kompleks. Namun, pemanfaatannya perlu mendapatkan payung hukum yang kuat agar tidak melanggar undang-undang
Terbit, Kabar Banten 14 Oktober 2021