PILKADES: SIAP MENANG, JUGA HARUS SIAP KALAH
PILKADES: SIAP MENANG, JUGA HARUS SIAP KALAH Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang Otonomi bukan tujuan akhir dalam penyelenggaraan negara, justru merupakan instrumen yang digunakan oleh negara dalam pencapaian tujuan nasional. Perkembangan pelaksanaan otonomi di Indonesia, tidak hanya dilekatkan pada pemerintah daerah tetapi juga sudah mencoba memberikan pengakuan terhadap otonomi desa. Hal ini dapat dilihat dengan kebijakan penguatan kemandirian desa melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa pada hakekatnya merupakan sebuah organisasi kecil yang menopang keberlangsungan sebuah negara. Desa adalah salah satu unsur pembentuk negara. Sebab, desa memiliki rakyat dan wilayah. Kehidupan dan pemerintahan desa telah ada jauh sebelum negara dibentuk. Pemilihan kepala desa (yang selanjutnya disebut Pilkades) merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh setiap desa secara serentak dalam wilayah kabupaten untuk memilih calon kepala desa (yang selanjutnya disebut cakades). Proses pilkades juga dimaknai sebagai aktivitas politik yang menunjukan bagaimana penerapan demokrasi di level akar rumput berjalan. Namun demikian, praktik di lapangan juga menunjukan bahwa pilkades juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dinamika politik yang terjadi di desa. Pilkades tidak serta merta dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan atau bagaimana strategi kampanye yang dilakukan agar mendapat dukungan suara yang masif dari masyarakat, lebih dari itu juga menyangkut persoalan lain seperti gengsi, harga diri dan kehormatan. Tak heran jika pelaksanaan perhelatan kompetisi pilkades juga kerap menimbulkan konflik di masyarakat. Pilkades sejatinya adalah instrumen politik warga negara untuk menentukan pemimpin lokal serta implementasi sistem demokrasi untuk melindungi kebebasan berpolitik. Pada sisi lain pilkades juga sebagai gambaran politik lokal yang menguji kekuatan political will dan political civil karena antara masyarakat dengan pemimpin sangat dekat dan dampaknya mudah dilihat. Dalam pilkades partisipasi politik cukup tinggi, sebaliknya konflik politik juga sangat rentan terjadi. Pilkades yang diharapkan sebagai luapan hak politik warga dalam perjalanannya justru di beberapa desa berdampak pada distabilitas sosial politik. Polarisasi kehidupan sosial semakin tajam pasca diselenggarakannya pilkades. Di antara tim pendukung tidak mudah melebur antara satu sama lain untuk merajut kembali keutuhan bermasyarakat dan pembangunan desa. Aspek yang lain diperparah oleh perilaku kebijakan politik kepala desa (pemenang) yang hanya memperhatikan kelompoknya. Bahkan urusan rekomendasi pembuatan KK dan KTP pelayanannya berbeda antara pendukung dengan lawannya. Apalagi kemudian membahas masalah bantuan rumah, bantuan penerangan, irigasi, pembangunan jalan pelosok banyak terjadi ketimpangan antar desa yang menggambarkan perbedaan dukungan. Siap Menang, Juga Harus Siap Kalah Menguatnya konflik politik di desa dipicu oleh paradigma tentang pilkades yang semata-mata bukan hanya urusan merebut kekuasaan, tetapi moralitas politik calon dan tim. Misalnya, apabila salah satu tokoh masyarakat sudah deklarasi bakal calon dan menjadi isu di masyarakat pantang untuk mundur apapun rintangan dan tantangan. Tidak ada kalkulasi politik dan strategi pemenangan, yang penting harga diri politik dan sejarah di masa depan sebagai tokoh yang tidak plin-plan. Menguatnya harga diri calon itu berdampak pada moralitas pendukung, yang pada akhirnya tidak peduli menang atau kalah, yang penting maju dan maksimal berjuang. Oleh karena itu apabila terjadi permasalahan, sangat mudah untuk menyulut emosi pada konflik masyarakat. Konflik sosial lebih tajam dan tidak mudah diselesaikan pasca pilkades dari pada pasca pileg, pilpres, dan pilkada. Pilkades mendorong semua masyarakat sebagai subjek politik, bukan objek dan eksploitasi politik. Semua masyarakat mayoritas sebagai pemain inti, baik posisinya sebagai tim pemenangan, pengatur strategi, pengkonsolidasi, maupun pengamat. Tidak ada yang silent dalam pilkades, kecuali yang buta politik. Sikap siap menang dan siap kalah perlu menjadi sebuah kesadaran bagi setiap cakades. Sikap tersebut diharapkan dapat membawa suasana politik yang aman dan damai. Meminimalkan terjadinya konflik antar para pendukungnya. Menjalankan politik secara jujur tanpa adanya kecurangan juga bagian dari sikap siap menang dan kalah dalam pilkades. Tidak hanya sekedar wacana, sikap ini perlu ditumbuhkan pada diri setiap cakades. Dalam mewujudkan siap menang maupun kalah di pilkades, cakades perlu memberikan arahan kepada para pendukungnya. Dengan memiliki kemampuan mengendalikan diri dan tidak tersulut emosi atas hasil apa pun, akan berefek pula kepada sikap para pendukung dalam menyikapi kemenangan maupun kekalahan. Diharapkan cakades yang menjadi panutan pendukungnya itu dapat meredakan emosi masyarakat yang menjadi pendukung setianya. Sikap cakades dalam menerima kemenangan maupun kekalahan dengan bijaksana ini akan memunculkan politik yang sehat. Para cakades akan fokus pada pemaparan program kerja mereka. Bukan malah memunculkan isu-isu negatif untuk lawan cakades lainnya. Selain itu, money politik juga tidak diperlukan. Dengan adaya siap menang maupun kalah, berarti akan fokus untuk mencari pemimpin terbaik. Siapa pun yang terpilih artinya itu adalah yang terbaik untuk memimpin desa tersebut. Namun, sayangnya sebagian besar cakades jutru tidak siap kalah. Padahal sistem politik ini rentan memicu konflik sosial di masyarakat. Karena itulah diharapkan agar masing-masing cakades dapat menyadari bahwa kemenangan maupun kekalahan sama-sama harus dihadapi dan diterima sepenuh hati. Tentunya politik ini sebenarnya tidak hanya berbicara tentang cakades, tapi juga relawan dan masyarakat yang mendukungnya. Penting bagi setiap cakades yang sedang mengikuti pesta demokrasi untuk mengingat segala janji yang telah diikrarkan pada diri sendiri sebelum akan mencalonkan menjadi kepala desa. Janji untuk bisa siap menerima segala hasil yang akan terjadi, baik itu menang ataupun kalah. Kalah dan menang adalah hal yang biasa dalam setiap kompetisi, termasuk dalam pilkades. Karena itu, baik menang maupun kalah harus disikapi dengan kewajaran. Kemenangan memang menjadi sesuatu yang diharapkan oleh setiap cakades, namun tentunya juga perlu mempersiapkan seandainya kalah dalam pilkades. Kecewa sudah pasti akan dirasakan, meski begitu sikap dewasa dalam menerima kekalahan itu penting untuk tetap menjaga suasana kondusif di dalam berpolitik. Budaya masyarakat untuk menerima kekalahan memang harus dari sekarang ditransformasikan oleh cakades dan tokoh masyarakat ke akar rumput sehingga setiap kompetisi apapaun jenisnya diseluruh segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat di pandang sebagai kegiatan yang positif sama seperti ajaran agama Islam “berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan”. Penting sekali untuk meredefinisi kembali arti menang dan arti kalah supaya masyarakat jangan melihat perbedaan keduanya secara dikotomi dan parsial. Perbedaan hendaknya jangan dipertajam tapi diupayakan untuk mencari kesamaannya yakni sama-sama sudah berupaya yang terbaik. Kedua pihak sama-sama menduduki tempat terhormat. Jadi sama sekali tidak ada pihak yang harus dikalahkan walaupun esensinya memang kalah. Tidak ada pihak yang merasa superior dibanding dengan pihak yang kalah. Tidak ada pihak yang merasa paling hebat, paling jago, paling pintar strategi dibanding kelompok yang kalah. Pihak yang kalahpun begitu juga jangan menganggap kekalahan yang dialami merupakan suatu proses kesalahan sehingga kemudian mencari kambing hitam dengan justifikasi. Jangan juga menganggap kekalahan itu sebagai kehilangan harga diri, kehilangan kehormatan, dan lain sebagainya. Menang dan kalah harus diterima dengan legowo dan keikhlasan. Mencoba mengambil sikap seperti ini memang berat tapi demi keutuhan masyarakat harus diupayakan. Untuk pihak yang memenangkan pilkades, menjadi tantangan tersendiri untuk menyikap pihak yang mengalami kekalahan. Kemenangan tidak selalu harus dikaitkan dengan pesta pora, euphoria, bahkan merendahkan pihak yang mengalami kekalahan. Justru tidak ada salahnya untuk melibatkan pihak yang mengalami kekalahan untuk masuk ke dalam kelompoknya. Sehingga kemenangan bukan hanya menjadi kemenangan pribadi namun menjadi kemenangan bersama. Bahkan pihak yang kalah juga bisa merasa dimenangkan. Hal ini lah yang dinamakan sebagai ketidaksombongan. Sedangkan bagi pihak yang kalah harus menjadikan sebuah kekalahan sebagai sebuah dorongan agar bekerja lebih keras lagi kedepannya. Siapapun pastinya akan merasa kecewa saat menerima kekalahan namun jati diri pemenang yang sesungguhnya adalah dewasa dalam menerima kekalahan. Apa yang sudah menjadi ikrar diharapkan tidak hanya menjadi sebuah wacana saja, namun harus dibuktikkan dalam bentuk tindakan yang nantinya bisa ditiru oleh pendukung ataupun relawan masing-masing cakades. Dibutuhkan "Kedewasaan politik" Kedewasaan politik merupakan sikap saling memahami, sikap menjunjung tinggi toleransi, sikap saling menghargai perbedaan, sikap yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi dan kelompok. Sikap dan perilaku demokratis ini setidaknya akan menjadi modal politik berharga bagi kita dalam membangun demokrasi yang sehat, sejuk, dan berperadaban. Kalau saja sikap legowo atau sikap bisa menerima kekalahan dalam sebuah kontestasi politik lebih dikedepankan oleh seorang cakades yang kalah, maka sikap ini akan menjadi modal politik yang sangat berharga bagi desa dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Sebab pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting dari pada hanya sekadar memenuhi sahwat kekuasaan. Begitupun Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan juga modal politik yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan desa dan pembangunan daerah. Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan iklim politik yang sehat dan kondusif dapat ditunjukkan oleh para tokoh masyarakat. Kedewasaan dan kesadaran tokoh masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan Pilkades yang berjalan dengan aman, damai, dan terkendali, plus sikap demokratis dari para calon dan tim sukses dan masyarakat pengusungnya, menjadi modal politik yang sangat berharga bagi bangsa ini dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting dari sekedar pemenangan kuasa politik. Sehingga proses dan praktik demokrasi (electoral) kita akan semakin matang dan berkualitas. Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan dan modal politik penting dalam menjalankan dan meneruskan jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional. Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan suasana politik yang sehat dan kondusif ditunjukkan para cakades dan tokoh masyarakat di Pilkades. Kedewasaan cakades dan tokoh masyarakat ini sangat dibutuhkan bangsa ini dalam membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. Masing-masing calon harus berkomitmen dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan; siap memang, juga harus siap kalah. Inilah makna yang paling subtansial dari pelaksanaan ikrar Pilkades Damai. Kita sangat menginginkan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dengan cara yang sehat dan bertanggungjawab. Para tokoh masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam konteks ini khususnya memadukan dan merekatkan kembali persatuan dan kesatuan masyarakat yang terganggu selama proses tahapan pilkades dimulai dan pasca pilkades dilaksankan. Di sinilah demokrasi kita diuji. Bagaimana setiap kandidat yang jelas sebagai calon pemimpin dites kematangan politik dan demokrasinya. Jika mereka tidak memiliki itu, berarti mereka bukan pemimpin. Buktikan jargon siap kalah siap menang yang selalu didengungkan di awal Pilkades. Kita berharap pada saat Panitia Pilkades mengeluarkan keputusan resmi hasil Pilkades, semua calon dan tim sukses calon bersikap legowo; siap menang dan siap kalah. Menjadi sebuah moment indah dan bersejarah jika saat pengumuman, masyarakat melihat para peserta, tim sukses pendukung saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain. Tidak salah kiranya kita semua belajar dari pertandingan olahraga seperti Sepak Bola, yang menjunjung sikap sportivitas dan fair play. Kita pernah saksikan, ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar kostum tanda persahabatan, mudahan-mudahan cakades dan masyarakat pemilih Pilkades bisa melakukan hal ini. Sekarang semuanya kita serahkan kepada para cakades, tokoh masyarakat, dan pemilih, mereka apakah mau menerima kekalahan atau tidak? Apakah akan bersikap ksatria atau tidak? Apakah sudah memiliki sikap siap menang atau siap kalah? Yang pastinya sejarah akan mencatat itu semua. Sekali lagi ini adalah upaya bersama dalam rangka meningkatkan kualitas berdemokrasi di negeri yang kita cintai ini. Selamat memilih sebagaimana masyarakat juga nanti menentukan pilihannya di bilik-bilik suara. Salam Demokrasi dan Salam Sehat...
Selengkapnya