Opini

542

PILKADES: SIAP MENANG, JUGA HARUS SIAP KALAH

PILKADES: SIAP MENANG, JUGA HARUS SIAP KALAH Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang   Otonomi bukan tujuan akhir dalam penyelenggaraan negara, justru merupakan instrumen yang digunakan oleh negara dalam pencapaian tujuan nasional. Perkembangan pelaksanaan otonomi di Indonesia, tidak hanya dilekatkan pada pemerintah daerah tetapi juga sudah mencoba memberikan pengakuan terhadap otonomi desa. Hal ini dapat dilihat dengan kebijakan penguatan kemandirian desa melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa pada hakekatnya merupakan sebuah organisasi kecil yang menopang keberlangsungan sebuah negara. Desa adalah salah satu unsur pembentuk negara. Sebab, desa memiliki rakyat dan wilayah. Kehidupan dan pemerintahan desa telah ada jauh sebelum negara dibentuk. Pemilihan kepala desa (yang selanjutnya disebut Pilkades) merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh setiap desa secara serentak dalam wilayah kabupaten untuk memilih calon kepala desa (yang selanjutnya disebut cakades). Proses pilkades juga dimaknai sebagai aktivitas politik yang menunjukan bagaimana penerapan demokrasi di level akar rumput berjalan. Namun demikian, praktik di lapangan juga menunjukan bahwa pilkades juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dinamika politik yang terjadi di desa. Pilkades tidak serta merta dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan atau bagaimana strategi kampanye yang dilakukan agar mendapat dukungan suara yang masif dari masyarakat, lebih dari itu juga menyangkut persoalan lain seperti gengsi, harga diri dan kehormatan. Tak heran jika pelaksanaan perhelatan kompetisi pilkades juga kerap menimbulkan konflik di masyarakat. Pilkades sejatinya adalah instrumen politik warga negara untuk menentukan pemimpin lokal serta implementasi sistem demokrasi untuk melindungi kebebasan berpolitik. Pada sisi lain pilkades juga sebagai gambaran politik lokal yang menguji kekuatan political will dan political civil karena antara masyarakat dengan pemimpin sangat dekat dan dampaknya mudah dilihat. Dalam pilkades partisipasi politik cukup tinggi, sebaliknya konflik politik juga sangat rentan terjadi. Pilkades yang diharapkan sebagai luapan hak politik warga dalam perjalanannya justru di beberapa desa berdampak pada distabilitas sosial politik. Polarisasi kehidupan sosial semakin tajam pasca diselenggarakannya pilkades. Di antara tim pendukung tidak mudah melebur antara satu sama lain untuk merajut kembali keutuhan bermasyarakat dan pembangunan desa. Aspek yang lain diperparah oleh perilaku kebijakan politik kepala desa (pemenang) yang hanya memperhatikan kelompoknya. Bahkan urusan rekomendasi pembuatan KK dan KTP pelayanannya berbeda antara pendukung dengan lawannya. Apalagi kemudian membahas masalah bantuan rumah, bantuan penerangan, irigasi, pembangunan jalan pelosok banyak terjadi ketimpangan antar desa yang menggambarkan perbedaan dukungan.   Siap Menang, Juga Harus Siap Kalah Menguatnya konflik politik di desa dipicu oleh paradigma tentang pilkades yang semata-mata bukan hanya urusan merebut kekuasaan, tetapi moralitas politik calon dan tim. Misalnya, apabila salah satu tokoh masyarakat sudah deklarasi bakal calon dan menjadi isu di masyarakat pantang untuk mundur apapun rintangan dan tantangan. Tidak ada kalkulasi politik dan strategi pemenangan, yang penting harga diri politik dan sejarah di masa depan sebagai tokoh yang tidak plin-plan. Menguatnya harga diri calon itu berdampak pada moralitas pendukung, yang pada akhirnya tidak peduli menang atau kalah, yang penting maju dan maksimal berjuang. Oleh karena itu apabila terjadi permasalahan, sangat mudah untuk menyulut emosi pada konflik masyarakat. Konflik sosial lebih tajam dan tidak mudah diselesaikan pasca pilkades dari pada pasca pileg, pilpres, dan pilkada. Pilkades mendorong semua masyarakat sebagai subjek politik, bukan objek dan eksploitasi politik. Semua masyarakat mayoritas sebagai pemain inti, baik posisinya sebagai tim pemenangan, pengatur strategi, pengkonsolidasi, maupun pengamat. Tidak ada yang silent dalam pilkades, kecuali yang buta politik. Sikap siap menang dan siap kalah perlu menjadi sebuah kesadaran bagi setiap cakades. Sikap tersebut diharapkan dapat membawa suasana politik yang aman dan damai. Meminimalkan terjadinya konflik antar para pendukungnya. Menjalankan politik secara jujur tanpa adanya kecurangan juga bagian dari sikap siap menang dan kalah dalam pilkades. Tidak hanya sekedar wacana, sikap ini perlu ditumbuhkan pada diri setiap cakades. Dalam mewujudkan siap menang maupun kalah di pilkades, cakades perlu memberikan arahan kepada para pendukungnya. Dengan memiliki kemampuan mengendalikan diri dan tidak tersulut emosi atas hasil apa pun, akan berefek pula kepada sikap para pendukung dalam menyikapi kemenangan maupun kekalahan. Diharapkan cakades yang menjadi panutan pendukungnya itu dapat meredakan emosi masyarakat yang menjadi pendukung setianya. Sikap cakades dalam menerima kemenangan maupun kekalahan dengan bijaksana ini akan memunculkan politik yang sehat. Para cakades akan fokus pada pemaparan program kerja mereka. Bukan malah memunculkan isu-isu negatif untuk lawan cakades lainnya. Selain itu, money politik juga tidak diperlukan. Dengan adaya siap menang maupun kalah, berarti akan fokus untuk mencari pemimpin terbaik. Siapa pun yang terpilih artinya itu adalah yang terbaik untuk memimpin desa tersebut. Namun, sayangnya sebagian besar cakades jutru tidak siap kalah. Padahal sistem politik ini rentan memicu konflik sosial di masyarakat. Karena itulah diharapkan agar masing-masing cakades dapat menyadari bahwa kemenangan maupun kekalahan sama-sama harus dihadapi dan diterima sepenuh hati. Tentunya politik ini sebenarnya tidak hanya berbicara tentang cakades, tapi juga relawan dan masyarakat yang mendukungnya. Penting bagi setiap cakades yang sedang mengikuti pesta demokrasi untuk mengingat segala janji yang telah diikrarkan pada diri sendiri sebelum akan mencalonkan menjadi kepala desa. Janji untuk bisa siap menerima segala hasil yang akan terjadi, baik itu menang ataupun kalah.  Kalah dan menang adalah hal yang biasa dalam setiap kompetisi, termasuk dalam pilkades. Karena itu, baik menang maupun kalah harus disikapi dengan kewajaran. Kemenangan memang menjadi sesuatu yang diharapkan oleh setiap cakades, namun tentunya juga perlu mempersiapkan seandainya kalah dalam pilkades. Kecewa sudah pasti akan dirasakan, meski begitu sikap dewasa dalam menerima kekalahan itu penting untuk tetap menjaga suasana kondusif di dalam berpolitik. Budaya masyarakat untuk menerima kekalahan memang harus dari sekarang ditransformasikan oleh cakades dan tokoh masyarakat ke akar rumput sehingga setiap kompetisi apapaun jenisnya diseluruh segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat di pandang sebagai kegiatan yang positif sama seperti ajaran agama Islam “berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan”. Penting sekali untuk meredefinisi kembali arti menang dan arti kalah supaya masyarakat jangan melihat perbedaan keduanya secara dikotomi dan parsial. Perbedaan hendaknya jangan dipertajam tapi diupayakan untuk mencari kesamaannya yakni sama-sama sudah berupaya yang terbaik. Kedua pihak sama-sama menduduki tempat terhormat. Jadi sama sekali tidak ada pihak yang harus dikalahkan walaupun esensinya memang kalah. Tidak ada pihak yang merasa superior dibanding dengan pihak yang kalah. Tidak ada pihak yang merasa paling hebat, paling jago, paling pintar strategi dibanding kelompok yang kalah. Pihak yang kalahpun begitu juga jangan menganggap kekalahan yang dialami merupakan suatu proses kesalahan sehingga kemudian mencari kambing hitam dengan justifikasi. Jangan juga menganggap kekalahan itu sebagai kehilangan harga diri, kehilangan kehormatan, dan lain sebagainya. Menang dan kalah harus diterima dengan legowo dan keikhlasan. Mencoba mengambil sikap seperti ini memang berat tapi demi keutuhan masyarakat harus diupayakan. Untuk pihak yang memenangkan pilkades, menjadi tantangan tersendiri untuk menyikap pihak yang mengalami kekalahan. Kemenangan tidak selalu harus dikaitkan dengan pesta pora, euphoria, bahkan merendahkan pihak yang mengalami kekalahan. Justru tidak ada salahnya untuk melibatkan pihak yang mengalami kekalahan untuk masuk ke dalam kelompoknya. Sehingga kemenangan bukan hanya menjadi kemenangan pribadi namun menjadi kemenangan bersama. Bahkan pihak yang kalah juga bisa merasa dimenangkan. Hal ini lah yang dinamakan sebagai ketidaksombongan. Sedangkan bagi pihak yang kalah harus menjadikan sebuah kekalahan sebagai sebuah dorongan agar bekerja lebih keras lagi kedepannya. Siapapun pastinya akan merasa kecewa saat menerima kekalahan namun jati diri pemenang yang sesungguhnya adalah dewasa dalam menerima kekalahan. Apa yang sudah menjadi ikrar diharapkan tidak hanya menjadi sebuah wacana saja, namun harus dibuktikkan dalam bentuk tindakan yang nantinya bisa ditiru oleh pendukung ataupun relawan masing-masing cakades.   Dibutuhkan "Kedewasaan politik" Kedewasaan politik merupakan sikap saling memahami, sikap menjunjung tinggi toleransi, sikap saling menghargai perbedaan, sikap yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi dan kelompok. Sikap dan perilaku demokratis ini setidaknya akan menjadi modal politik berharga bagi kita dalam membangun demokrasi yang sehat, sejuk, dan berperadaban. Kalau saja sikap legowo atau sikap bisa menerima kekalahan dalam sebuah kontestasi politik lebih dikedepankan oleh seorang cakades yang kalah,  maka  sikap ini akan menjadi modal politik yang sangat berharga bagi desa dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Sebab pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting dari pada hanya sekadar memenuhi sahwat kekuasaan. Begitupun Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan juga modal politik yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan desa dan pembangunan daerah. Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan iklim politik yang sehat dan kondusif dapat ditunjukkan oleh para tokoh masyarakat. Kedewasaan dan kesadaran tokoh masyarakat sangat dibutuhkan  dalam rangka membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat.  Pelaksanaan Pilkades yang berjalan dengan aman, damai, dan terkendali, plus sikap demokratis dari para calon dan tim sukses dan masyarakat pengusungnya, menjadi modal politik yang sangat berharga bagi bangsa ini dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting dari sekedar pemenangan kuasa politik. Sehingga proses dan praktik demokrasi (electoral) kita akan semakin matang dan berkualitas. Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan dan modal politik penting dalam menjalankan dan meneruskan jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional. Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan suasana politik yang sehat dan kondusif ditunjukkan para cakades dan tokoh masyarakat di Pilkades. Kedewasaan cakades dan tokoh masyarakat ini sangat dibutuhkan bangsa ini dalam membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. Masing-masing calon harus berkomitmen dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan; siap memang, juga harus siap kalah. Inilah makna yang paling subtansial dari pelaksanaan ikrar Pilkades Damai. Kita sangat menginginkan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dengan cara yang sehat dan bertanggungjawab. Para tokoh masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam konteks ini khususnya memadukan dan merekatkan kembali persatuan dan kesatuan masyarakat yang terganggu selama proses tahapan pilkades dimulai dan pasca pilkades dilaksankan. Di sinilah demokrasi kita diuji. Bagaimana setiap kandidat yang jelas sebagai calon pemimpin dites kematangan politik dan demokrasinya. Jika mereka tidak memiliki itu, berarti mereka bukan pemimpin. Buktikan jargon siap kalah siap menang yang selalu didengungkan di awal Pilkades. Kita berharap pada saat Panitia Pilkades mengeluarkan keputusan resmi hasil Pilkades, semua calon dan tim sukses calon bersikap legowo; siap menang dan siap kalah. Menjadi sebuah moment  indah dan bersejarah  jika saat pengumuman, masyarakat melihat para peserta, tim sukses pendukung  saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain. Tidak salah kiranya kita semua  belajar dari pertandingan  olahraga  seperti Sepak Bola, yang menjunjung sikap sportivitas dan fair play. Kita pernah  saksikan, ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar kostum tanda persahabatan, mudahan-mudahan  cakades dan masyarakat pemilih Pilkades bisa melakukan hal ini.  Sekarang  semuanya kita serahkan kepada para cakades, tokoh masyarakat, dan pemilih,  mereka apakah mau menerima kekalahan atau tidak? Apakah akan bersikap ksatria atau tidak? Apakah sudah memiliki sikap siap menang atau siap kalah? Yang pastinya sejarah akan mencatat itu semua. Sekali lagi ini adalah upaya bersama dalam rangka meningkatkan kualitas berdemokrasi di negeri yang kita cintai ini. Selamat memilih sebagaimana masyarakat juga nanti menentukan pilihannya di bilik-bilik suara. Salam Demokrasi dan Salam Sehat...


Selengkapnya
150

MAULID NABI MUHAMMAD, DEMOKRASI DAN SPIRIT REFORMASI SOSIAL

MAULID NABI MUHAMMAD, DEMOKRASI DAN SPIRIT REFORMASI SOSIAL Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang Hampir lebih dari 15 abad yang lalu, kelahiran Nabi Muhammad memang sudah ditunggu-tunggu bangsa Arab yang konon selalu disindir oleh bangsa-bangsa lainnya sebagai bangsa yang “terbuang” dan luput dari skenario sang Maha Agung.  Di saat Romawi dan Persia pada saat itu memiliki peradaban, bahkan telah memiliki agama atau keyakinan serta kitab suci, bangsa Arab merupakan bangsa yang terkucilkan, tidak memiliki seseorang yang khusus dikirimkan Tuhan kepada mereka. Mereka bahkan tidak memiliki kitab suci yang selalu dibanggakan bangsa-bangsa lainnya. Bangsa Arab yang didominasi tribalisme hanya berkonsentrasi mencari uang dan mempertahankan dominasi kesukuannya masing-masing, sehingga sering kali kekerasan timbul silih berganti dan menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa “lemah”. Keadaan ini justru berubah, setelah pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal 570 Masehi, Muhammad lahir dari keturunan bangsa Arab, melalui rahim seorang ibu bernama Aminah. Sudah tak terhitung jumlahnya tulisan sejarah yang mengangkat perjalanan hidup Nabi Muhammad. Misalnya, Michael H Hart, dalam The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah. Thomas Carlyle, dalam On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History, memposisikan beliau sebagai orang terpenting dari aspek kepahlawanan. Marcus Dodds, dalam Muhammad, Budha, and Christ, menyebut beliau sebagai tokoh paling berani secara moral. Will Durant, dalam The Story of Civilization in The World, menempatkan beliau sebagai orang pertama dilihat dari hasil karyannya. Sementara, dalam Muhammad al-Rasul wa al-Risalah, Nazame Luke menempatkan ajaran Nabi sebagai yang paling perfectable. Yang pasti, semuanya berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia teragung dalam sejarah. Penilaian ini tentu tidak berlebihan. Bahwa Nabi Muhammad adalah manusia multidimensional. Sosok pemimpin yang alim, politikus yang agamawan, dan panglima yang menawan. Pemimpin yang membela hak-hak kaum tertindas. Beliau bukan hanya meneriakkan reformasi politik di dunia Arab kala itu, tetapi juga menggulirkan revolusi sosial-kultural menuju sebuah sistem yang egaliter, humanis, dan toleran. Itulah sosok manusia ideal yang sudah sepantasnya menjadi top-model (uswatun-hasanah) bagi segenap manusia di seantero dunia. Robert N. Bellah dalam buku Beyond Belief (1976) mengatakan: “Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah Nabi Muhammad sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat ini belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi”. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun Negara Madinah, sehingga dijadikan representasi negara modern, disebabkan karena beliau telah berhasil meletakkan fondasi dan konstruksi masyarakat madani dengan menggariskan etika dan tanggung jawab bersama dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).   Nabi Muhammad dan Demokrasi Berkeadaban Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyhur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah). Sedangkan dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir. Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad 20. Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles. Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad, termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syura), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat. Nabi Muhammad disamping mempunyai tugas sebagai pembawa risalah Ilahiyah, beliau juga adalah pemimpin masyarakat politik ketika berada di Madinah sampai akhir hayatnya, beliau melakukan perubahan yang besar di tengah masyarakat yang nomadik, beliau membentuk sistem masyarakat yang berkeadaban dan menciptakan persaudaran yang lebih luas melintasi suku dan ras. Kepemimpinan politik yang beliau lakukan dengan baik dan meninggalkan catatan sejarah untuk dijadikan teladan bagi generasi sesudahnya. Dalam upaya mengembangkan prinsip demokrasi berkeadaban itulah, kita bisa menggali warisan pemikiran dan praktik yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Selain sebagai pembawa risalah agama, dalam kehidupannya Nabi Muhammad juga mengemban amanah sebagai pemimpin politik. Jauh sebelum para filosof politik Barat menyusun teori tentang demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan jender dan sejenisnya, Nabi Muhammad sebenarnya telah meletakkan dan mempraktikkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadaban itu, baik ketika periode awal di Makkah juga kehidupan pasca hijrah ke Madinah. Periode awal masa kenabian di Makkah, Nabi Muhammad menghadapi realitas sosial-politik masyarakat Arab yang serba timpang. Ketimpangan itu terlihat dari ketatnya stratifikasi sosial masyarakat Arab yang membedakan hak dan martabat manusia berdasarkan suku, jenis kelamin dan status sosialnya. Dalam konteks kesukuan masyarakat Arab sangat mengistimewakan kedudukan kelompok Quraisy sebagai golongan mayoritas ketimbang suku non-Quraisy. Sedangkan dari perspektif jenis kelamin, kedudukan laki-laki selalu diposisikan lebih tinggi ketimbang perempuan. Begitu pula dalam konteks status sosial, dimana budak dan majikan dihubungkan dengan corak relasi hirarkis, dimana budak adalah milik mutlak tuannya. Misi kenabian pertama yang harus dijalani Nabi Muhammad ialah mereformasi sistem sosial-politik yang serba timpang tersebut. Ajaran Islam yang ia bawa mensyaratkan pemeluknya untuk berucap syahadat. Secara teologis, syahadat adalah pengakuan atas kebertunggalan Allah dan pengakuan atas status Muhammad sebagai utusan Allah. Sedangkan secara sosio-politis kalimat syahadat adalah deklarasi atau manifesto bahwa semua manusia pada dasarnya setara, dan tidak ada yang berhak menguasai manusia selain Allah SWT. Untuk itulah ia harus berhadapan dengan elite-elite dalam struktur sosial masyarakat Arab yang tidak ingin kekuasaan dan previlesenya diusik.   Tegaknya Demokrasi di Madinah Piagam Madinah adalah prestasi luar biasa dalam sejarah peradaban Islam. Piagam Madinah merupakan sebuah pencapaian spektakuler dari seorang pemimpin umat dan pemimpin politik. Piagam Madinah menandakan bentuk Negara demokratis yang mengusung kebebasan semua orang untuk menjalankan agamanya, keyakinannya, tanpa ada urusan-urusan hukum yang diatur oleh Negara. Salah satu hal penting dari prinsip demokrasi di Madinah adalah lahirnya kesetaraan. Semua kalangan dirangkul untuk bicara persoalan bersama dalam rangka membangun komunitas yang demokratis. Dalam piagam Madinah terdapat prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, jaminan perlindungan, dan sebagainya, yang semuanya telah menegakkan Madinah sebagai konsepsi ideal sebuah Negara demokratis. Setelah tegaknya sistem demokratis di Madinah. Nabi telah menetapkan asas-asas toleransi antar pemeluk agama. Piagam Madinah telah berhasil mengakhiri fanatisme kesukuan. Fanatisme kesukuan berkecenderungan menutup diri dan arogansi yang berlebihan. Toleransi yang dibangun Nabi adalah bentuk kepedulian pentingnya sikap terbuka dan toleran kepada kelompok lain. Kondisi masyarakat Madinah dan Indonesia memiliki kesamaan, yakni kemajemukan. Baik di Madinah maupun di Indonesia keduanya memiliki keragaman penduduk, dari latar belakang agama maupun budaya. Dari sini dapat dipahami keduanya memiliki kemiripan ketika kemajemukan dipandang sebagai unsur penting dalam membangun sebuah konstitusi. Kondisi di Indonesia kurang lebih sama. Indonesia hingga saat ini mayoritas berpenduduk muslim, namun konstitusi tidak menjadikan Islam sebagai basis dasar aturan Negara, namun Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Pancasila. Kemajemukan di Indonesia merupakan identitas tanah air yang tidak bisa disangkal oleh siapapun. Pancasila adalah representasi keragaman di Indonesia. Semua orang bisa hidup, mendapatkan jaminan, berkeyakinan atas dasar perlindungan oleh Negara. Indonesia memiliki banyak ragam budaya, agama, dan terdiri dari pulau-pulau, dan nilai-nilai Pancasila lah yang menjadikan sebuah komunitas berbangsa yang satu, yakni Bhineka Tunggal Ika. Piagam Madinah dan Pancasila adalah portal demokrasi. Keduanya memberikan jaminan kepada semua orang dalam rangka menjalankan segala aktifitasnya tanpa ada diskriminasi dari siapapun, meskipun itu adalah Negara, jika setiap aktifitas tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme maka ia tetap menjadi warga Negara yang baik. Meskipun kekuasaan dipegang kaum muslimin, dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai pemimpin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non muslim. Mereka masih diberi kebebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hubungan ini dibangun dalam rangka menyelenggarakan kepentingan bersama. Jika salah satu pihak mengkhianati perjanjian, maka Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan dapat menindak orang-orang yang melanggar perjanjian tersebut. Selama kurun waktu satu dekade, Nabi Muhammad berhasil membangun peradaban di kota Madinah, hingga Islam tersebar dengan damai ke beberapa wilayah seperti Syam dan Ethiopia. Keberhasilan ini tercapai tak lepas dari kepiawaian Nabi Muhammad dalam berpolitik, ditambah lagi dengan budi pekerti dan kebijaksanaan beliau dalam menghadapi berbagai persoalan di berbagai lini, baik agama, sosial, maupun politik.   Maulid Nabi Muhammad dan Spirit Reformasi Sosial Islam hadir ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu ”Jahiliyah”. Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk berkreasi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama-sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Dengan tegas Al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Membangun kesejahteraan semesta, bukan menindas bangsa-bangsa. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus selalu dikedepankan dalam membangun Indonesia masa mendatang. Potensi nalar agama akan sanggup menopang perjuangan penegakan demokrasi di Nusantara. Sehingga pada gilirannya proses demokratisasi tidak akan kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang semacam hedonisme dan materialisme. Kalau kita lihat dari kacamata kemanusiaan bahwa konsep demokrasi merupakan benar-benar memberi pendidikan kepada masyarakat luas tentang. “Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan keselarasan”. Terlepas dari arti secara harfiah dimana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari dan untuk rakyat yang memberi kesan bahwa dalam sistem pemerintahan seperti ini rakyat adalah segalanya, demokrasi memiliki esensi yang lebih penting. Esensi penting yang dikandung demokrasi adalah menghapuskan diktator mayoritas dan tirani minoritas yang banyak terkandung dalam sistem pemerintahan lainnya. Demokrasi mengisyaratkan adanya persamaan kedudukan setiap individu. Sehingga dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak suara yang sama dan berhak untuk didengar. Dalam negara demokrasi seharusnya tidak akan ada pemerintah yang otoriter yang memaksakan kehendaknya atau kehendak golongannya. Setiap warga negara dilindungi haknya oleh negara. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam dimana setiap umat manusia adalah sama kedudukannya di mata Allah SWT yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Spirit reformasi sosial yang diwariskan oleh Nabi Muhammad itulah yang idealnya kita praktikkan hari ini. Peringatan Maulid Nabi Muhammad sudah sepatutnya tidak hanya diisi dengan hal-hal seremonial belaka, tanpa ada pemaknaan atas keteladanan yang telah ia wariskan. Dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini yang tengah diwarnai polarisasi dan perpecahan, meneladani visi sosial Nabi Muhammad adalah sebuah keharusan. Dengan meneladani spirit Nabi Muhammad, bangsa Indonesia harus membangun kembali solidaritas keumatan. Yakni ikatan sosial yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan tanpa memandang identitas agama, suku, ras, jenis kelamin dan afiliasi politik. Lantaran pada dasarnya, semua entitas yang tinggal di bumi Indonesia ini adalah satu saudara dalam keumatan, meski mereka berbeda suku, agama, ras dan ideologi politik. Selamat Maulid Nabi Muhammad 1443 H/2021M. (Banten pos, selasa 19 oktober 2021)


Selengkapnya
154

Polemik Penundaan Jadwal Pemilu dan Tugas Berat Komisi Pemilihan Umum

Oleh: Abidin Nasyar (Ketua KPU Kabupaten Serang) Indonesia akan menyongsong pesta demokrasi akbar pada tahun 2024 nanti. Pemilihan Presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah serentak akan diselenggarakan pada tahun itu. Ini merupakan peristiwa demokrasi bersejarah, sebab untuk kali pertama, Indonesia harus menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada serentak di tahun yang sama. KPU selalu berkomitmen untuk menghadirkan hajat demokrasi yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan oleh publik. Karena itu, sejak jauh-jauh hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan berbagai upaya, di antaranya melakukan beberapa kali konsultasi dan rapat kerja bersama pemerintah. Namun, hingga kini belum ada keputusan pasti mengenai jadwal tahapan Pemilu dan pemilihan kepala daerah. Pemilu Serentak 2024 Belum Diputuskan Dalam beberapa kali rapat yang membahas persiapan dan kesiapan pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024, sempat terjadi perbedaan usulan ihwal jadwal pelaksanaan pemungutan suara dari KPU dan Pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Mendagri Tito Karnavian mengusulkan agar pemungutan suara pemilu (Pilpres & Pileg) dilaksanakan pada bulan April atau Mei 2024, atau mundur dua bulan dari jadwal yang direncanakan sebelumnya. Adapun pertimbangannya ialah persoalan stabilitas keamanan. Tito menilai, suhu politik yang memanas lebih awal, akan berdampak terhadap eksekusi program pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini karena seluruh rangkain tahapan pemilu yang akan dimulai pada Januari 2022 atau 25 bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara, merujuk pada usulan perubahan (penambahan tahapan) oleh KPU. Dalam draft peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan Pemilu 2024, KPU memang mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan pada 21 Februari 2024 dan tahapan dimulai pada 21 Januari 2022. Adanya penambahan waktu tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan persiapan pemilu yang diproyeksikan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Alasan lainnya ialah karena KPU juga memperhatikan beban kerja dari badan AdHoc yang sangat berat. KPU tidak ingin mengulang kejadian pada Pemilu tahun 2019, di mana terdapat banyak petugas penyelenggara di lapangan meninggal dunia dan lainnya yang mengalami sakit karena kelelahan. KPU menginginkan alokasi waktu yang lebih memadai agar petugas penyelenggara pemilu tidak dibebani pekerjaan yang berat di tengah durasi waktu yang padat. Selain itu, KPU juga mempertimbangkan tingkat kerumitan yang terjadi jika waktu antara Pemilu dan Pilkada serentak hanya berjarak beberapa bulan saja. KPU menekankan perlunya mempertimbangkan alokasi waktu yang memadai agar dipergunakan dengan maksimal, salah satunya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pengambilan keputusan hasil pemilu yang tentunya akan berdampak terhadap pilkada pada november 2024. Ini karena salah satu syarat pencalonan kepala daerah juga terkait dengan hasil raihan kursi DPRD pada Pemilu 2024. Komisi II DPR RI sendiri menginginkan agar keputusan mengenai jadwal pemilu segera final sebelum masa reses pada tanggal 8 Oktober nanti. Akan tetapi, rapat terakhir yang diselenggarakan oleh Komisi II DPR RI dan KPU pada 6/10/2021 berlangsung tanpa kehadiran pemerintah. Ini membuat agenda penetapan jadwal tahapan pemilu kembali mengalami penundaan. Persoalan Masa Jabatan Anggota KPU Daerah Semua pihak tentu berharap polemik mengenai penetapan jadwal tahapan pemilu ini tidak menjadi persoalan yang berlarut-larut. Karena bagaimanapun, pesta akbar demokrasi yang akan dihelat pada tahun 2024 nanti diproyeksikan menghadirkan kompleksitas yang tinggi dan melelahkan khususnya bagi KPU. Bagaimana tidak, KPU dihadapkan dengan persoalan habisnya masa jabatan anggota KPU di berbagai daerah. Ini berarti KPU RI harus melakukan rekrutmen anggota KPUD di tengah tahapan pemilu yang sudah berjalan.  Irisan Rekrutmen dan Tahapan Untuk diketahui, pada tahun 2023 dan 2024 banyak di antara penyelenggara pemilu yang akan memasuki masa akhir jabatan (AMJ). Sekitar 57 persen (1.585) anggota KPU di 317 Kabupaten/Kota akan purna jabatan pada tahun 2023. Rinciannya ialah : 1 Kab/Kota pada bulan Mei, 118 Kab/Kota pada bulan Juni, 39 Kab/Kota pada bulan Juli, 13 Kab/Kota pada Agustus, 91 Kab/Kota pada Oktober, 18 Kab/Kota pada November, dan 37 Kab/Kota pada Desember. Kondisi yang sama juga dialami oleh komisioner KPU di tingkat Provinsi yang akan habis masa jabatannya di tahun 2023 sebanyak 24 Provinsi dan di 2024 sebanyak 9 Provinsi. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 136 komisoner atau setara 71 persen dari total keseluruhan komisioner KPU Provinsi se-Indonesia. Seandainya pelaksanaan pemilu digelar pada 21 Februari, maka akan terdapat 5 Provinsi (35) komisioner KPU Provinsi dan 46 Kab/Kota (230) komisioner KPU tingkat kabupaten/kota yang akan purna jabatan ditengah hari pelaksanaan pemilu. Di tengah situasi demikian, banyak di antara anggota KPU di berbagai daerah yang menjadikan persoalan masa jabatan sebagai topik hangat yang sering dibicarakan. Masa pergantian atau transisi anggota demisioner dengan yang baru, baik yang berakhir pada tahun 2023 maupun yang berakhir di tahun 2024 jelas akan beririsan dengan tahapan pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024. Selain itu tidak dipungkiri, di tengah rangkaian persiapan pemilu, konsentrasi para anggota atau komisioner KPU yang akan purna tugas akan sedikit terbelah. Para komisioner KPU di berbagai daerah yang akan purna tugas di tahun 2023 dan 2024 diliputi kegalauan antara bekerja secara maksimal dan mempersiapkan untuk kembali mencalonkan diri sebagai penyelenggara pemilu. Dalam suasana demikian, ada semacam harapan terhadap para pemangku kebijakan agar memberikan solusi untuk mengatasi persoalan ini tanpa melanggar aturan yang telah ditetapkan. Hal ini juga sebagaimana yang diutarakan oleh Ketua KPU RI Ilham Saputra, yang menginginkan agar DPR RI dan Pemerintah memperpanjang masa jabatan komisioner KPU di berbagai daerah. Sebab, jika tidak, KPU RI akan mengelola 10 gelombang pelaksanaan seleksi anggota KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota yang dilakukan bersamaan dengan tahapan pemilu. KPU RI juga akan melaksanakan orientasi tugas terhadap KPU Provinsi dan Kab/Kota bersamaan dengan tahapan pemilu. Selain itu, KPU juga mensinyalir adanya potensi kesalahan administrasi karena proses transisi KPU pada tingkat daerah yang beririsan dengan tahapan krusial dalam pemilu. Ini beberapa konsekuensi yang akan dihadapi jika seandainya persoalan terkait akhir masa jabatan komisioner KPU di berbagai daerah tidak diperpanjang.   Tantangan Lain Sebenarnya masih banyak berbagai tantangan potensial yang akan dihadapi KPU baik terkait pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, penggunaan teknologi informasi dalam pungut hitung dan rekap, kesiapan dan pengelolaan logistik pemilu, verifikasi faktual Parpol dan termasuk penerapan protokol kesehatan jika pandemi belum benar-benar berakhir. Tulisan ini, berlepas diri dari kapasitas untuk menelaah berbagai tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi secara komprehensif. Sebab, dalam kenyataanya, kerap terjadi berbagai permasalahan yang tidak terduga dalam setiap tahap pelaksanaan pemilu. Setidaknya, itulah yang pernah saya alami selama menjadi penyelenggara.Bahkan terkadang banyak di antara para petugas penyelenggara di berbagai tingkatan yang tidak begitu menikmati suasana pemilu dikarenakan padatnya tugas yang harus ditunaikan, dan pikiran yang selalu terkonsentrasi pada upaya menciptakan pemilu yang berkualitas bagi publik. Karena bagaimanapun, KPU selalu berkomitmen untuk bekerja secara profesional, terbuka, dan melayani serta melibatkan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. KPU juga menyadari dan sepenuhnya bertanggungjawab untuk menghadirkan gegap gempita pesta demokrasi ke dalam suasana batin masyarakat Indonesia. Ini karena KPU telah sejak lama memperluas penerjemahan mengenai tugas dan fungsi yang tidak terpaku hanya sebagai pelaksana pemilu yang diliputi berbagai tugas teknis dan prosedural, tetapi juga melangkah sebagai lembaga yang menjembatani berbagai kontribusi yang bermakna bagi perkembangan demokrasi. (Telah terbit di Kompas, 14 Oktober 2021)  Editor: Amir Sodikin  


Selengkapnya
119

DAFTAR PEMILIH BERKELANJUTAN DAN SIK ASIK

DAFTAR PEMILIH BERKELANJUTAN DAN SIK ASIK Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang   Daftar pemilih yang akurat, komperhensif dan mutakhir merupakan prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam melaksanakan demokrasi electoral. Dengan adanya daftar pemilih yang akurat akan meningkatkan kualitas proses demokrasi electoral dengan membuka ruang seluas-luasnya kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Melakukan pendaftaran pemilih lebih awal dapat mengantisipasi kemungkinan kehilangan hak pilih seseorang secara lebih cepat dan terukur sebelum pemungutan suara berlangsung, sehingga dapat meminimalisir sengketa pada hari pemilihan. Melalui pendaftaran pemilih hak politik setiap warga negara untuk memberikan suaranya dalam proses demokrasi electoral akan ditentukan. Pendaftaran pemilih berkaitan dengan kepastian adanya kesetaraan bagi seorang warga negara untuk memilih. Jika pendaftaran pemilu tidak dilakukan dengan baik, banyak warga Negara yang akan kehilangan hak politik. Padahal setiap warga negara dijamin hak politiknya tanpa diskriminasi, demikian juga nilai suara setiap warga negara adalah sama. Sebagaimana filosofi dalam demokrasi “pemerintahan (cratos) adalah orang (demo)” pendaftaran pemilih adalah deskripsi yang konkret dari “demo” dalam hal ini penduduk yang merupakan pemilik kedaulatan (Suaib, 2010: 28). Secara teknis bentuk jaminan pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah tersedianya daftar pemilih yang akurat, komperhensif dan mutakhir. Hal ini mengingat persyaratan bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilih adalah terdaftar dalam daftar pemilih. Apabila pemilih telah terdaftar dalam daftar pemilih, pada hari pemungutan suara mereka mendapat jaminan untuk dapat menggunakan hak pilihya. Demikian pula sebaliknya, bila pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih, mereka pun potensial kehilangan hak pilihnya.   Daftar Pemilih Berkelanjutan Penyusunan daftar pemilih adalah sebuah proses penyusunan data pemilih oleh penyelenggara pemilu berdasarkan hasil penyandingan DPT pemilu atau pemilihan terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan dengan DP4 untuk selanjutnya dijadikan bahan pemutakhiran. Pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh Pantarlih, PPS dan PPK. Pantarlih secara garis besar melaksanakan dua kegiatan inti yaitu registering (mendaftar) dan updating (memperbarui). Registering dimaknai sebagai memasukkan pemilih yang belum terdaftar ke dalam daftar pemilih. Sedangkan updating adalah kegiatan memutakhirkan data pemilih yang sudah terdaftar dengan cara mencatat perubahan status, umur, tempat tinggal, dan mengeluarkan pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena sudah meninggal, pindah, atau dicabut hak pilihnya oleh pengadilan. Dalam pelaksanan pemutakhiran daftar pemilih, Indonesia kini menganut daftar pemilih berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bahwa pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap 6 (enam) bulan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data tersebut digunakan sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih. Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara (Pasal 204 ayat 5). Sementara itu, terkait dengan pelaksanannya, Pasal 218 ayat 2 UU7/2017 tersebut menyatakan bahwa KPU dan KPU Kabupaten/Kota wajib memelihara dan memutakhirkan data pemilih. Berdasarkan regulasi di atas, KPU harus melaksanakan pemutakhiran daftar pemilih secara berkelanjutan. Ada atau tidak ada pemilu, kegiatan pemutakhiran daftar pemilih tetap dilakukan. Kegiatan daftar pemilih berkelanjutan diatur dalam Surat KPU Republik Indonesia nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 tanggal 04 Februari 2021 perihal pemutakhiran data pemilih berkelanjutan tahun 2021 dan Surat KPU RI nomor 366/ PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 tanggal 02 April 2021. Hal inilah yang menjadi dasar bagi KPU untuk menyusun sebuah daftar pemilih yang berkualitas yang dapat digunakan kapanpun. Penggunaan kapanpun dimaknai dengan proses penyusunan yang berkelanjutan. Inilah yang disebut daftar pemilih berkelanjutan yang menjadi kegiatan perhatian Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meng-updating data pemilih yang dimiliki oleh KPU yang hasilnya dipercaya oleh setiap warga negara Indonesia. Untuk itu diperlukan payung hukum yang baik sehingga hasil yang dikerjakan tidak sia-sia atau hanya menjadi second tool dari kesungguhan hati penyelenggara pemilu di seluruh Indonesia untuk menciptakan sebuah penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan modern.   Teknologi dan Sistem Informasi Data Pemilih Teknologi yang diperlukan dalam pemutakhiran data adalah teknologi yang memiliki tiga fungsi, yaitu (1) dapat digunakan untuk pengolahan (konsolidasi, sinkronisasi, pembersihan) data DPT Pemilu terakhir dengan Data Kependudukan Pemerintah; (2) dapat digunakan untuk mengirimkan data dari KPU ke KPU Kabupaten/Kota dan sebaliknya; dan (3) dapat digunakan untuk publikasi daftar pemilih. Teknologi pemutakhiran data pemilih itu bekerja dengan mekanisme CRUD (create, read, update and delete). Penyediaan teknologi tergantung kepada tanggung jawab pihak yang memiliki wewenang dalam pemutakhiran data. Bila wewenang pemutakhiran berada di KPU, maka posisi teknologi pengolahan data akan berada di KPU (sentralisasi). Demikian pula, bila wewenang pemutakhiran berada di KPU dan/atau KPU Kabupaten/Kota, maka penyediaan teknologi berada di KPU dan KPU Kabupaten/Kota (desentralisasi). Atau dapat juga posisi teknologi hanya berada di KPU, namun KPU Kabupaten/Kota diberikan wewenang akses (link) dalam pemutakhiran tetap berada di daerah. Sistem informasi data pemilih (Sidalih) yang dikembangkan KPU diharapkan mampu melayani KPU di semua tingkatan dan memiliki 3 fungsi: (1) konsolidasi (pembuatan database data pemilih berdasarkan DPT pemilu terakhir dan Data Kependudukan); (2) pemeliharaan dan pemutakhiran, dan (3) publikasi data pemilih. Selain itu Sidalih juga ditujukan untuk memberikan akses yang luas kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya terhadap data pemilih yang dimiliki oleh KPU. Namun demikian, Sidalih ini dirancang dengan kemampuan memberikan jaminan keamanan agar daftar pemilih tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Berikut adalah penjelasan singkat tiga fungsi Sidalih yang dikembangkan KPU: (1) Fungsi Konsolidasi. Sidalih mampu mendukung kerja KPU untuk mengkonsolidasikan sumber data pemilih yang berasal dari DPT Pemilu Terakhir dari KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Data Kependudukan Pemerintah dari Pemerintah secara efektif dan efisien. Dua data yang berbeda tersebut merupakan data awal bagi KPU untuk menyusun daftar pemilih yang akan dimutakhirkan dan diverifikasi. (2) Fungsi Pemeliharaan dan Pemutakhiran. Sidalih dibangun untuk membantu KPU dalam memelihara dan memutakhirkan data pemilih yang dimiliki. Dalam fungsi ini teknologi yang dikembangkan ditujukan untuk melakukan identifikasi permasalahan daftar pemilih, misalnya data ganda, belum cukup umur, anggota TNI/Polri, dan data lainnya yang dinilai tidak akurat. Selain itu teknologi ini dikembangkan untuk menjembatani antara KPU Pusat dengan KPU Kabupaten/ Kota dalam melakukan pemutakhiran secara berkala. Dalam hal ini KPU Pusat menyediakan layanan pemutakhiran data pemilih yang dapat digunakan oleh KPU Kabupaten/Kota untuk memasukkan dan mengirimkan hasil pemutakhiran data pemilih dan (3) Fungsi Publikasi/Sosialisasi. Sidalih dirancang untuk membuka akses publik kepada informasi daftar pemilih. Sidalih di antaranya dirancang agar pemilih dapat melakukan pemeriksaan nama atau identitas pemilih, apakah data sudah benar atau belum, apakah dirinya sudah terdaftar atau belum. Teknologi ini diharapkan sebagai sarana bagi pemilih untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap daftar pemilih, sebagai bahan pemutakhiran dan verifikasi faktual data pemilih. Berkaitan dengan publikasi/sosialisasi data pemilih (DPS dan DPT) dengan menggunakan website diatur sebagai berikut: (1) KPU menyediakan informasi data pemilih yang meliputi informasi data pemilih seluruh pemilih di Indonesia, (2) KPU Provinsi menyediakan data informasi pemilih yang meliputi data pemilih masing-masing provinsi yang bersangkutan, (3) KPU Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah pemilih lebih dari 1.000.000 orang menyediakan data informasi pemilih yang meliputi data pemilih di kabupaten/kota yang bersangkutan, dan (4) KPU Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah pemilih kurang dari 1.000.000 orang  menyediakan data informasi pemilih yang meliputi data pemilih di kabupaten/kota yang bersangkutan.   Asiknya DPB dengan SIK ASIK Untuk mewujudkan Daftar Pemilih Berkelanjutan yang Komprehensif, Akurat, Mutakhir, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Serang telah membuat aplikasi “SIK ASIK”. Dengan fasilitas yang telah disiapkan oleh KPU Kabupaten Serang, masyarakat bisa menginstall aplikasi tersebut di android masing-masing yang dapat diunduh di Play Store. Sistem Informasi Kumpulan Arsip Kepemiluan disingkat SIK ASIK adalah perangkat Aplikasi yang dibuat untuk memudahkan masyarakat mendapatkan informasi seputar Pemilu. Dalam aplikasi tersebut terdapat fitur Cek Pemilih, Website KPU, PPID, dan JDIH. Dengan aplikasi ini masyarakat dapat mengetahui informasi dan Dokumentasi Pemilu serta untuk memperoleh informasi tentang data dan informasi hukum. Dengan diluncurkannya aplikasi berbasis android ini, kedepan  masyarakat tidak perlu repot lagi untuk mengetahui informasi tahapan kepemiluan. Dalam aplikasi Sik Asik yang merupakan konten aplikasi yang disediakan untuk para pengguna sebagai pemilih yang bisa digunakan dalam proses Daftar Pemilih Berkelanjutan tersedia 3 fitur yakni  fitur untuk mengecek data pemilih, fitur untuk pengajuan Data Pemilih Baru, dan fitur untuk pengajuan perubahan data pemilih. Data yang diperoleh KPU Kabupaten Serang dari Bawaslu, Disdukcapil, DPMD, Polres, Kodim, Pengadilan Agama, dan Kementerian Agama,  maupun masyarakat akan dilakukan pengecekan dengan disandingkan DPT terakhir. Apakah ditemukan adanya kegandaan atau kategori pemilih yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) lainnya untuk dibersihkan dalam daftar pemilih tetap. Demikian pula dengan penduduk setempat yang belum masuk dalam daftar pemilih, baik itu warga pindahan dari daerah luar, genap berusia 17 tahun, pensiunan TNI/Polri, maupun belum 17 tahun tapi sudah atau pernah menikah, maka KPU Kabupaten Serang akan memasukkan warga tersebut dalam kategori potensi pemilih baru. Selain data konsolidasi maupun data updating hasil pelayanan kependudukan dari berbagai Dinas dan tanggapan dari Masyarakat, dalam rangka pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan ini, KPU Kabupaten Serang juga membuka layanan pelaporan dan tanggapan bagi masyarakat. Tak hanya pelaporan langsung, masyarakat dapat menyampaikan laporannya secara online, baik ke laman maupun aplikasi yang dimiliki oleh KPU Kabupaten Serang. Cara masyarakat dalam memberikan tanggapan DPB, yang pertama secara online. Apalagi saat ini, dengan metode online, lebih mudah. Karena sebagian besar pemilih sudah memiliki handphone android, yang terhubung langsung dengan internet. Cara ini bisa dilakukan dengan mengisi form dalam aplikasi SIK ASIK yang sudah disediakan. Yang kedua masyarakat bisa berkunjung langsung ke kantor KPU Kabupaten Serang dengan proaktif, paling tidak hal itu menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap Pemilu. Adapun syarat data yang di mutahirkan adalah warga Negara yang telah berusia 17 ( tujuh belas) tahun atau lebih pada saat pemungutan suara berlangsung  sudah / pernah kawin, tidak sedang di cabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hokum tetap; berdomisili di daerah pemilihan dengan di butikan kartu KTP EL atau surat keterangan yang diterbitkan dinas kependudukan dan catatan sipil ( jika belum memiliki KTP EL) ; tidak menjadi anggota TNI atau Polri (pasal 5 PKPU 19/2019). Jika masyarakat Kabupaten Serang mengalami perubahan data, bisa datang langsung untuk melapor ke Kantor KPU Kabupaten Serang yang beralamat di Jalan Kitapa No.33, Cimuncang, Kec. Serang, Kota Serang, Banten 42111, tetapi jika tidak punya waktu untuk datang langsung ke kantor, KPU Kabupaten Serang memberikan kemudahan yaitu cukup melalui gadget  dengan mendownload aplikasi SIK ASIK di Playstore, kita dapat mengecek data pemilih, apakah nama kita sudah ada atau belum masuk dalam Daftar Pemilih, jika nama kita belum masuk dalam Daftar Pemilih tinggal klik fitur untuk pengajuan Data Pemilih Baru, dengan mengisi form yang disediakan maka akan secara otomatis nama kita akan langsung masuk dalam Daftar Pemilih, dan bagi masyarakat yang namanya sudah ada dalam Daftar Pemilih, namun ada kesalahan input Nama ataupun elemen data lainnya, maka tinggal klik fitur untuk pengajuan perubahan data pemilih. Mudah bukan? Asiknya DPB dengan SIK ASIK... Banten Pos, 07 Oktober 2021


Selengkapnya
572

Demokrasi Desa untuk Pemilu Serentak 2024 yang Demokratis

Oleh: Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang Divisi Datin Dasar pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, perlu dibentuk lembaga permusyawaratan dan lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui Pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan atau keterbukaan. Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur Pemilu untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui Pemilu tersebut adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang dibentuk melalui Pemilu akan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Dasar pemikiran tersebut merupakan penegasan pelaksanaan semangat dan jiwa Pancasila dan UUD 1945.   Demokrasi Desa dan Kesadaran Masyarakat Kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyediakan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI. Terbitnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberi pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini juga memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan.  Tumbuhnya inisiatif warga desa dalam arena demokrasi desa ini merupakan pertanda baik bagi berseminya gerakan sosial para aras desa yang akan menjadi “pupuk” dan “nutrisi” bagi bertumbuhkembangnya demokrasi yang subtantif. Perubahan struktur masyarakat, dinamika politik lokal serta keragaman pola kelola kekuasaan mengisyaratkan potret baru desa, yang kini mulai berubah. Romansa kehidupannya yang dulu identik keterbelakangan, miskin dan tertinggal, secara bertahap makin memancarkan pesona baru yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai inisiatif desa sebagai penanda kebangkitan lokalitas.  Jika ditengok sejenak ke belakang misalnya, nampak jelas bagaimana rasanya begitu lama desa mengalami marginalisasi (peminggiran), baik urusan ekonomi maupun politik. Pengalaman buruk dibawah tekanan corak kekuasaan otoriter Orde Baru di masa lalu menjadikan desa sebagai objek pembangunan.  Sejak angin perubahan berhembus sebagai dampak reformasi, semangat membangkitkan kembali komunitas grass root (akar rumput) ini mulai menguat. Ada harapan menjadikan desa sebagai poros pembangunan lokal penopang pembangunan nasional. Komitmen awal itu, paling tidak tercermin dari nafas UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur desa. Regulasi tersebut hendak mengembalikan roh desa pada asal-usulnya, yakni kemandirian. Selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan), kebijakan itu memberi ruang desa bernegosiasi dalam pembangunan daerah. Hari ini muncul gejala menguatnya kesadaran masyarakat desa mengenai isu-isu publik makin menguat. Situasi ini ditunjukkan dengan berbagai pengalaman tentang meningkatnya kesadaran warga desa terhadap masalah-masalah keseharian sebagai masalah publik. Isu pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi dan sejenisnya makin dibincangkan dalam arena warga.  Memang, praktik-praktik lokal desa telah menunjukkan betapa inisiasi dan penguatan lembaga representasi mulai tumbuh, paling tidak secara formal paska terbitnya UU Desa. Partisipasi baru masyarakat, artikulasi gagasan dan pengetahuan yang berproses itu berkesempatan mengambilalih ”kekuasaan baru”, menginterpretasi, kemudian terlibat berpolitik dalam pengertian yang lebih luas. Itulah yang secara eksplisit terjelaskan bahwa, kini Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri orientasi pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa berisi tentang apa yang menjadi kepentingan dan prioritas pemerintah dan warga desa itu sendiri.   Menuju Pemilu Serentak 2024 yang Demokratis Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara sederhana, masyarakat memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di negara Indonesia diwujudkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan oleh rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.   Pemilihan umum merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Salah satu pilar pokok dalam setiap sistem demokrasi adalah adanya mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala melalui pemilihan umum yang diadakan secara berkala. Pemilihan umum juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipal. Sejak merdeka pada tahun 1945, Indonesia sudah melaksanakan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) sebanyak dua belas kali yaitu terhitung mulai dari Pemilu pertama pada tahun 1955 sampai dengan Pemilu tahun 2019. Dengan demikian, Pemilu tahun 2024 merupakan Pemilu yang ketiga belas yang akan dilaksanakan di Indonesia. Pemilihan umum dapat didefenisikan sebagai proses politik dimana warga negara yang sudah memiliki hak pilih menyalurkan suaranya untuk memilih orang-orang tertentu yang akan duduk mewakili mereka di lembaga perwakilan, baik itu lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif pada setiap tingkat pemerintahan hingga pemilihan  kepala desa . Orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum inilah yang menjalankan roda pemerintahan perwakilan. Pemilu, hak pilih dan/atau hak memilih warga negara, dan lembaga perwakilan merupakan sebagian dari ciri-ciri sistem pemerintahan demokrasi.  Sistem Pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan yaitu yang semula penyelenggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan dalam waktu yang berbeda pada tahun 2024 nanti akan diselenggarakan dalam tahun yang bersamaan atau secara serentak. Penyelenggaraan Pemilu dan pilkada secara serentak lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan Pemilu lebih menghemat uang negara (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Selain itu, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diselenggarakan secara serentak denga Pemilihan Kepala Daerah juga mengurangi pemborosan waktu karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Selain itu, hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada Pemilu serentak terkait  dengan hak warga negara untuk membangun peta checks and balances dengan keyakinannya sendiri, fungsi eksekutif dan legislatif dapat dengan mudah dievaluasi, mengurangi pemborosan waktu dan gesekan horizontal di masyarakat, dan akan menghasilkan kelembagaan (legislatif dan eksekutif) yang kuat karena dipilih sesuai kehendak rakyat. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu untuk menjadi pemahaman bersama bahwa pada dasarnya pemilu merupakan suatu keniscayaan politik untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. Bahkan bagi kebayakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu sendiri. Hal ini disadari karena pemilu merupakan wujud nyata dari implementasi demokrasi. Dengan kata lain, pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya sistem demokrasi. Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai apakah pemilu diselenggarakan secara demokratis atau tidak, 1) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; 2) terdapat persaingan yang adil dari peserta pemilu; 3) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang tidaklah dapat terpisahkan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis di sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.  Akhirnya dari semua penjelasan di atas, terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu serentak 2024 yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi untuk mewujudkan Negara Indonesia yang demokratis.


Selengkapnya
191

BUDAYA LITERASI, PENDIDIKAN DEMOKRASI, DAN PEMILIH CERDAS

Oleh ZAENAL MUTIIN Anggota KPU Kabupaten Serang (Divisi Data dan Informasi) Indonesia sebagai sebuah negara telah memilih formasinya sebagai negara modern dengan sistem demokrasi. Sebagai suatu sistem, demokrasi telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada konsekuensi logis yang diamanatkan kepada negara Indonesia dalam menjalankan sistem politik demokrasinya, yakni melakukan proses transfer kekuasaan melalui mekanisme pemilihan umum.  Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah penegasan atas makna dan syarat sebuah negara yang menyatakan dirinya menganut demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris di banyak negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu pijakan bagi hadirnya konsolidasi demokrasi, yakni praktik demokrasi yang kian matang dan stabil. Kendati secara prosedural Indonesia telah melakukan Pemilu (pemilu nasional dan pilkada) secara berkala, namun dalam prosesnya masih dapat dikatakan belum sepenuhnya menjadi demokratis substantif.  Disadari atau tidak bahwa dalam Pemilu, kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu salah satunya ditentukan oleh bagaimana kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Pada pembentukan kesadaran dan partisipasi, maka literasi politik tidak saja mendorong warga negara mau memanfaatkan haknya memilih dalam pemilu. Namun juga memiliki kemampuan untuk melakukan pemilihan secara tepat sesuai dengan kepentingan yang disandangnya, kemampuan untuk terlibat lebih jauh untuk memantau dan mengoreksi jalannya pemilu sesuai dasar hukum, sehingga pemilu benar-benar menjadi prosedur demokrasi yang baik, serta berkemampuan pula untuk mempertanyakan janji-janji pemimpin/wakil rakyat terpilih dengan berpartisipasi dalam proses penyusunan dan monitoring implementasi kebijakan-kebijakan publik seusai pemilu.   Indonesia dan Budaya Literasi Demokrasi berpilar pada partisipasi yang sadar. Sedangkan partisipasi yang sadar dengan jiwa dan pikiran yang “penuh” itu adalah tujuan dari literasi itu sendiri. Menurut UNESCO, tujuan dari literasi adalah “enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”. Literasi diharapkan meningkatkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi-potensi yang mereka miliki, agar bisa “berpartisipasi secara penuh” (‘to participate fully’) dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas. UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun. Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65 negara. (International Federation of Library Associations and Institutions. 2017). Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan membaca buku, ilmu pengetahuan akan didapatkan. Kegiatan membaca akan menambah wawasan sekaligus mempengaruhi mental dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran membaca ini akan membentuk budaya literasi yang berperan penting dalam menciptakan bangsa yang berkualitas. Rumusan ini mudah diucapkan, tetapi perlu kerja keras untuk diwujudkan, apalagi bila kita bicara tentang Indonesia. Penyebabnya, meski sudah 76 tahun merdeka, angka melek huruf kita masih rendah. UNDP merilis, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai perbandingan, angka melek huruf di negeri jiran kita, Malaysia, mencapai 86,4 persen. Hal ini terkait dengan pendidikan kita yang masih belum maju. Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-69 dari total 127 negara dalam indeks pembangunan pendidikan UNESCO. (International Federation of Library Associations and Institutions. 2017). Dalam National Institute For Literacy, terminologi literasi merujuk pada kemampuan individu untuk membaca, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah dalam perkerjaan, keluarga dan masyarakat. Dari melek aksara menuju kemampuan membaca yang aktif. Dalam arti membaca dan mendapatkan pengetahuan dari proses tersebut. Literasi dalam kehidupan demokrasi tentunya mensyaratkan adanya kemampuan membaca dan menulis yang baik. Pada titik ini, menjadi seorang literat harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan yang khas seperti mampu menganalisis dan menunjukkan sikap kritis terhadap masalah yang menjadi realitas umum. Selain itu, seorang literat juga harus selalu memiliki minat dalam membaca, menulis, menganalisis dan mengkritisi berbagai kebijakan publik serta mencari upaya solutif yang tepat dan akurat. Di sini, yang mendesak dibuat ialah dengan mengerti tentang demokrasi dalam memahami kebijakan publik. Hari-hari ini kita bisa melihat bahwa salah satu kegagalan demokrasi yang menjadi intensi publik ialah kurangnya kapasitas pengetahuan masyarakat dalam memahami setiap bidang kehidupannya terutama demokrasi yang berkelanjutan. Masyarakat secara parsial belum memiliki kedalaman berpikir secara kritis dan rasional. Penurunan kemampuan berpikir ini menggiring pada demokrasi yang salah kaprah dan tidak berjalan pada sistemnya. Demokrasi Indonesia membutuhkan masyarakat yang berkualitas yang mampu membawa demokrasi ke arah yang progresif. Kehadiran literasi menunjang kematangan demokrasi. Semakin banyak masyarakat yang berpengatahuan dan berketerampilan serta kritis dengan realitas publik dapat membentuk demokrasi yang otentik.     Pendidikan Demokrasi dan Pemilih Cerdas Pendidikan dan politik adalah dua faktor penting dalam sistem sosial. Keduanya bersinergi dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara. Satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku masyarakat. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara memberikan dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara. Hubungan tersebut adalah realitas empirik yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan. Demokrasi sejati memerlukan sikap dan perilaku hidup demokratis masyarakatnya. Demokrasi ternyata memerlukan syarat hidupnya yaitu warga negara yang memiliki dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, secara substantif berdimensi jangka panjang, guna mewujudkan masyarakat demokratis, pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Pendidikan demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan oleh warga negara bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada masyarakat akan pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi. Untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupannya dan sudah menjadi kebiasaan tanpa ada tekanan dari siapapun. Kualitas suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kualitas dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan para kaum cerdik pandai yang terekam dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang dinamis. Para penggiat pendidikan sepakat bahwa pintu gerbang penguasaan ilmu pengetahuan adalah dengan banyak membaca. Sebab dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, masyarakat Indonesia akan dapat melihat keluar, sisi-sisi apa yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara berpikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera. Kondisi-kondisi seperti ini cukup berarti bagi berkembangnya nilai-nilai dan tradisi demokrasi, sebuah landasan hakiki bagi berjalannya lembaga-lembaga demokrasi di tingkat masyarakat maupun negara. Literasi pemilih rasional menjadi penting seiring dengan agenda konsolidasi demokrasi menuju pelembagaan pemilu, dengan tujuan menjadikan para pemilih terliterasi saat dihadapkan dengan keputusan memilih kepada kandidat atau partai politik. Dalam menjatuhkan pilihannya tak hanya berdasarkan popularitas calon atau faktor kedekatan secara emosional belaka. Tetapi mampu mengetahui dan memahami rekam jejak, program dan visi misinya. Karena apapun pilihannya, akan kembali kepada para pemilih juga. Pemilih rasional pada hakekatnya adalah pemberi suara yang rasional, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian pada kebanyakan warga negara. Orang yang rasional, selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif. Dan pemberi suara rasional berminat secara aktif terhadap politik, rajin berdiskusi dan mencari informasi politik, serta bertindak berdasarkan prinsip yang tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan umum. Demikian juga pemberi suara rasional mampu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan kekuatan politik. Dengan demikian, literasi politik merupakan komponen terpenting untuk mengarahkan warga negara dalam memahami realitas politik terutama ketika menjatuhkan pilihannya terhadap kontestan atau partai politik tertentu. Literasi politik tidak harus di ruang-ruang formal, namun bisa dilaksanakan di ruang-ruang informal, yang terpenting adalah bagaimana pemilih lebih cerdas, rasional dan kritis dalam menjatuhkan pilihannya. Karena hanya pemilih yang memiliki tipologi tersebut yang bisa merubah masa depan bangsa ini. Sudah saatnya pemilih Indonesia, menjadi pemilih yang lebih kritis dan rasional. Sekali lagi, memilih pemimpin tidak hanya faktor popularitas dan elektabilitasnya saja, namun bagaimana melihat lebih jauh tentang rekam jejam, tidak memiliki cacat politik dan dipercaya bisa melakukan perubahan yang lebih baik. Budaya literasi dibentuk secara partisipatif-kolektif untuk menciptakan panorama demokrasi yang elegan tanpa ada distorsi sosial. Secara umum literasi yang mengalami peningkatan dapat memproduksi berbagai elemen masyarakat yang rasional dan demokratis serta kritis. Sangat diharapkan literasi sebagai substansi ilmiah yang membebaskan masyarakat dari penjara kebodohan menuju manusia berpikir untuk negara dan demokrasi. Demokrasi Indonesia membutuhkan masyarakat yang berkualitas yang mampu membawa demokrasi ke arah yang progresif. Kehadiran literasi menunjang kematangan demokrasi. Semakin banyak masyarakat yang berpengatahuan dan berketerampilan serta kritis dengan realitas publik dapat membentuk demokrasi yang otentik. Akhirnya, literasi harus berakar dalam dunia pendidikan berpolitik bangsa Indonesia. Ia mesti melekat pada setiap elemen masyarakat maupun elite politik. Demokrasi bisa tumbuh subur, jika ada basis budaya literasi yang terus meningkat. Salam literasi.  (Banten Pos, 2 September 2021)


Selengkapnya