Opini

722

KEMERDEKAAN DAN KEDAULATAN RAKYAT

Oleh: Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang Divisi (Divisi Data dan Informasi) Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.  17 Agustus 1945 dimana kalimat-kalimat tersebut terdengar jelas menggema diseluruh tanah air Indonesia menggetarkan seisi dunia ketika bapak Proklamator kita mendeklarasikan bahwa Bangsa Indonesia saat itu juga merdeka dari segala bentuk penjajahan bangsa lain. Kalimat tersebut pula lah yang sontak membakar seluruh semangat masyarakat Indonesia untuk menyapu bersih sisa-sisa asing di dalam tubuh tanah air indonesia. Sontak gerakan perjuangan kemerdekaan secara masif, sistematis dan terstruktur menyelami jiwa para pemuda dari sabang-sampai marauke, dengan cita-cita mewujudkan bangsa yang berdaulat, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Tepat tanggal 17 Agustus 2021, genap sudah umur 76 tahun bangsa Indonesia merdeka. Umur yang cukup mapan bagi sebuah bangsa untuk dapat memerdekakan rakyat dengan cara menempatkan kedaulatan rakyat di alam demokrasi Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan sejarah yang panjang. Selama hampir 76  tahun bangsa ini merdeka, tercatat sampai saat ini sudah ada 7 presiden dan 12 wakil presiden yang telah mengemban amanah rakyat. Masing-masing presiden telah membawa perubahan bagi bangsa ini; kemerdekaan, pembangunan, reformasi hukum, reformasi birokrasi, sampai pemberantasan korupsi. Sebagai negara yang demokratis, rakyat dituntut untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara dalam wujud partisipasi politik melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan mekanisme pergantian kekuasaan secara konstitusional dan merupakan sebuah proses yang menjadi syarat utama bagi sebuah negara yang demokratis.   Kemerdekaan dan Kedaulatan Rakyat Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti (1) bebas dari perhambaan dan penjajahan, (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan, (3) tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Sedangkan kemerdekaan memiliki arti keadaan (hal) berdiri sendiri yakni bebas, lepas dan tidak terjajah lagi. Dalam arti sebuah kebebasan, yang mana kebebasan adalah hak  segala bangsa. Merdeka adalah terbebas dari segala macam belenggu, aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Merdeka merupakan sebuah rasa kebebasan bagi makhluk hidup untuk mendapatkan hak dalam berbuat sekehendaknya. Dalam sebuah negara, merdeka berarti bebas dari belenggu, kekuasaan dan aturan penjajah. Integrasi bangsa untuk menuju ke arah kemerdekaan bukan merupakan hasil rekayasa dan bantuan serta rasa ‘iba’ dari penjajah, namun merupakan bentuk perjuangan yang menganggap kemerdekaan dan kebebasan rakyat dan bangsa adalah hak paling esensial dan fundamental bagi umat manusia. Posisinya sederajat dengan nilai-nilai universal lainnya seperti kemanusian (humanisme) dan keadilan. Hak tersebut juga berlaku bagi bangsa Indonesia, namun karena sering dilanggar bangsa lain, bangsa Indonesia harus berjuang keras mewujudkan hak tersebut. Keberhasilan mewujudkan hak kebebasan dan kemerdekaan ditandai oleh pernyataan kemerdekaan. Karena misi utama perjuangan kemerdekaan adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai kebebasan bagi rakyat dan bangsa, maka negara yang telah diperjuangkan itu seharusnya berkomitmen mewujudkan nilai-nilai tersebut. Karena itu, mengutip alinea kedua Pembukaan UUD 1945: “… negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur” harus dijaga dan dilestarikan terus menerus. Sudah menjadi kewajiban negara Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 untuk selalu menjaga kemerdekaan dan kebebasannya. Kemerdekaan memiliki makna bila bangsa ini mandiri dan menentukan sikap dalam mengejar tujuan-tujuan negara. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemerdekaan merupakan sesuatu yang amat penting dalam suatu Negara, karena dengan kemerdekaan tersebut dapat memberikan kebebasan baik dalam bertindak yang sesuai dengan kehendaknya. Sehingga dengan kebebasan tersebut dapat memberikan kebahagian bagi warga Negara yang telah merdeka karena tidak lagi terbelenggu dan diperbudak oleh Negara maupun orang lain lagi. Artinya kemerdekaan merupakan sesuatu yang teramat penting bagi suatu bangsa, karena dengan kemerdekaan tersebut tidak akan ada penindasan, justru yang akan timbul adalah kebahagiaan karena mereka telah memiliki sebuah kebebasan. Kedaulatan bagi sebuah negara adalah sangat penting sekali. Negara yang sudah merdeka berarti itu sudah memiliki kedaulatan, oleh karena kemerdekaan adalah hak setiap bangsa di dunia dan merupakan hak azasi setiap manusia di dunia. Bangsa Indonesia mengutuk dan anti penjajahan seperti yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama. Kedaulatan rakyat mengandung arti, bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat membawa konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom), tanpa intervensi negara mana pun. Indonesia melalui konstitusi yang sudah ada sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, selalu membicarakan kedaulatan, baik kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, maupun kedaulatan negara. Kemandirian bangsa atau ‘berdaulat’ sebagai terjemahan makna kemerdekaan, adalah pesan penting yang harus selalu ditanamkan dan ditegakkan, khususnya dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia. Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yaitu diberikan pengakuan kepada rakyat untuk berperan serta secara aktif dalam menentukan wujud penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sarana yang diberikan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut yaitu diantaranya dilakukan melalui kegiatan pemilihan umum.   Pemilu, Kemerdekaan, dan Kedaulatan Rakyat Pemilihan Umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik sejauh mana telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya. Penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala merupakan suatu kebutuhan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai sumber kehidupan bernegara proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilihan umum akan memberikan legitimasi, legalitas, dan kredibilitas pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan melahirkan pemerintahan yang demokratis. Pemahaman tentang rakyat dalam kedaulatan rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, dan menempatkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Ajaran kedaulatan rakyat sebagai ajaran yang terakhir dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan tempat yang baik, karena ajaran kedaulatan rakyat dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat atau berkuasa, maka segala aturan dan kekuasaan yang dijalankan oleh negara tidak boleh bertentangan dengan kehendak rakyat. Rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik mana yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya. Partai politik sebagai peserta pemilu dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensi nya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat menyatakan bahwa “kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat(1) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tanagan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain mengacu pada Undang-Undang Dasar, ketentuan lain juga diatur melalui peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan adanya bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih yang melekat pada warga negara Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dinyatakan bahwa : “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  Kedua ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya. Melalui Pemilu, rakyat memunculkan para calon pemimpin dan menyaring calon-calon tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikutsertaan rakyat dalam Pemilu, dapat dipandang juga sebagai wujud partisipasi dalam proses Pemerintahan, sebab melalui lembaga masyarakat ikut menentukan kebijaksanaan dasar yang akan dilaksanakan pemimpin terpilih. Dalam sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, Pemilu menjadi kunci terciptanya demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa diikuti Pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi. Inti pemerintahan demokrasi kekuasaan memerintah yang dimiliki oleh rakyat. Kemudian diwujudkan dalam ikut seta menentukan arah perkembangan dan cara mencapai tujuan serta gerak poloitik Negara. Keikut sertaannya tersebut tentu saja dalam batas-batas ditentukan dalamperaturan perundang-undangan atau hokum yang berlaku. Salah satu hak dalam hubungannya dengan Negara adalah hak politik rakyat dalam partisipasi aktif untuk dengan bebas berorganisasi, berkumpul, dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Kebebasan tersebut dapat berbentuk dukungan ataupun tuntutan terhadap kebijakan yang diambil atau diputuskan oleh pejabat negara. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan Negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan saran legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik mana yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis. (Banten Pos, 18 Agustus 2021)


Selengkapnya
1817

HIJRAH ELEKTORAL; DARI DEMOKRASI PROSEDURAL KE DEMOKRASI SUBSTANSIAL

Oleh ZAENAL MUTIIN Anggota KPU Kabupaten Serang (Divisi Data dan Informasi) Tidak bisa dipungkiri, salah satu buah dari pergerakan Reformasi 1998 yang mampu menumbangkan rezim orde baru adalah terbukanya sumbatan demokrasi. Pasca itu, demokratisasi mulai terjadi di Indonesia, sistem demokrasi Indonesia mulai ditata dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dan total. Masyarakat mulai dilibatkan dalam ruang-ruang politik, baik di Pemilu dan Pilkada, maupun di ruang-ruang politik lainnya. Masyarakat sudah bisa menentukan pemimpinnya sendiri lewat pesta demokrasi, baik pemimpin nasional maupun pemimpin di daerah (lokal) masing-masing. Pesta demokrasi (Pemilu dan Pilkada) sebagai salah satu demokrasi prosedural terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sistemnya terus ditata hingga menemukan format terbaik yang tetap sesuai dengan amanah konstitusi. Kini format terbaik itu telah ditemukan dan mulai diaplikasikan, yaitu Pemilu serentak dan Pilkada serentak. Ini semua terkait dengan perbaikan prosudural demokrasi. Demokrasi yang ideal seharusnya memenuhi dua aspek utama yang menjadi indikator berjalannya demokrasi. Aspek yang pertama yaitu demokrasi prosedural, dalam artian demokrasi harus memenuhi prosedur-prosedur standar untuk bisa disebut demokrasi, misalnya adanya partai politik, adanya pemilihan umum, dan lain sebagainya. Aspek yang kedua yaitu demokrasi substansial, aspek ini lebih tinggi tingkatannya dari pada demokrasi prosedural. Dalam demokrasi substansial, demokrasi bukan hanya selesai dengan terpenuhinya prosedur-prosedur untuk disebut sebagai sistem demokrasi tapi juga harus menyentuh substansi dari prosedur demokrasi itu sendiri, misalnya; adanya parpol yang memenuhi di Indonesia sendiri demokrasi berjalan baru sebatas demokrasi prosedural, belum masuk ke tahap demokrasi substansial. Secara prosedur, Indonesia memang sudah bisa disebut sebagai negara demokrasi karena prosedur-prosedur standar demokrasi sudah terpenuh, sejak kemerdekaan sudah belasaan pemilu diadakan di Indonesia bahkaan di era reformasi adanya lembaga penyelenggara pemilu (KPU, BAWASLU, DAN DKPP) dan adanya perangkat-perangkat demokrasi yang lain sehingga secara prosedural Indonesia sudah bisa disebut sebagai negara demokrasi. Pertanyaannya adalah, apakah demokrasi prosedural yang terus berkembang juga diiringi dengan berkembangnya demokrasi substansial? Tentu ini menjadi tugas kita bersama seluruh elemen masyarakat bangsa Indonesia.   Demokrasi Prosedural dan Substansial Menurut Afan Gaffar (2000), dikenal dua pemahaman tentang demokrasi, yaitu secara normatif atau yang dikenal sebagai demokrasi prosedural dan secara empirik atau yang dikenal sebagai demokrasi substansi. Secara normatif prosedural, yaitu mengenai prinsip kedaulatan rakyat di UUD 1945 dan tujuan dari pilkada secara langsung oleh rakyat (UU No. 8 Tahun 2015 di Pasal 1 ayat (1)). Adapun demokrasi substansi jauh dari sekedar melampaui prosedural rutinitas, karena mengenai hal-hal yang sangat mendasar. Rumusan tersebut meliputi apakah dalam sistem politik memberikan ruang yang cukup bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik melalui kelembagaan yang ada? Kemudian, sejauh mana kompetisi antara pemimpin dilakukan secara fair dan terbuka (fair and open in regular base) untuk mengisi jabatan politik yang ada. Demokrasi prosedural maupun demokrasi substansial, keduanya merupakan hal yang mesti dibenahi bersama. Tidak bisa kemudian hanya terfokus pada pembangunan atau perbaikan demokrasi prosedural, tanpa membangun demokrasi substansial. Keduanya memilki peranan penting bagi terciptanya cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Pembangunannya mesti seiring sejalan, bukan meninggalkan salah satunya. Demokrasi prosedural yang terus mengalami perkembangan, bukan berarti bebas dari masalah. Contohnya soal Pemilu dan Pilkada. Sekalipun telah diformulasikan sedemikian rupa mengenai sistem dan mekanisme pelaksanaannya, Pemilu dan Pilkada masih dibayang-bayangi oleh beragam masalah baik masalah money politic, biaya politik yang mahal, serta konflik horizontal yang dihasilkan dari perbedaan pilihan politik dalam Pemilu dan Pilkada. Ini juga menjadi tugas kita seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta terlibat mewujudkan Pilkada atau Pemilu sebagai demokrasi prosedural yang menghasilkan pemimpin yang mampu mewujudkan demokrasi substansial. Proses demokrasi masih dimaknai dengan memenangkan kontestasi, dengan cara apa pun yang yang dianggap benar. Ukuran suksesnya pun sederhana yaitu tokoh yang diusung jadi pemimpin. Kualitas demokrasi yang demikian, tentu masih jauh dari nilai hakiki demokrasi. Tetapi itu semua adalah praktik demokrasi yang tengah kita alami sebagai demokrasi yang sah secara prosedural walaupun dari kacamata demokrasi substantif, masih jauh panggang dari api. Demokrasi substantif masih sebatas kerinduan, artinya mimpi untuk mencapai demokrasi yang berfokus pada kepentingan rakyat mungkin saja bisa terwujud. Namun syaratnya, para pihak perlu memastikan proses pemilu yang bebas dari politik uang dan kampanye negatif yang berisi ujaran kebencian serta membawa isu SARA.   Demokrasi dan Pemilu Serentak 2024 Pemilu serentak 2024 yang akan digelar beberapa tahun kedepan harus dimaknai sebagai sebuah momentum referendum politik bagi rakyat untuk mengubah masa depan politik bangsa ini. Prosesi pemilu tak boleh dipahami sebatas pesta demokrasinya para elit yang hanya menempatkan rakyat sebagai obyek pengembira semata. Akan tetapi, esensinya adalah rakyat harus berperan sebagai subyek yang dapat menentukan kemana arah demokrasi kita berjalan. Apakah demokrasi subtantif yang dapat memenuhi hak-hak asasi rakyat,  atau malah demokrasi prosedural yang hanya berkutat pada debat teknis, mekanisme, dan tata cara pemilu. Pemilu serentak 2024 secara substansial tidak merubah esensi pemilihan sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia, namun secara teknis pelaksanaan berbeda dengan pemilu sebelumnya, hal tersebut merupakan upaya untuk efesiensi waktu, anggaran dan menekan conflict of interset.  Selain itu sasaran yang hendak dicapai dengan dilaksanakanya pemilu serentak yakni partisipasi masyarakat dapat meningkat dan maksimal karena pemilu serentak dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakil preside, gubernur/ wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, dan anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) secara serentak di tahun yang sama sehingga masyarakat tidak merasa jenuh dan membuang-buang waktu dengan beberapa kali pemilihan yang dilakukan. Pemilu serentak 2024 bukan lagi persoalan yang harus diperdebatkan karena pada esensinya pemilu serentak adalah jalan menuju demokrasi yang substansial. Pada hakikatnya yang menjadi substansial dari demokrasi adalah pemenuhan hak-hak rakyat dan menentukan nasibnya sendiri, sehingga keterlibatan masyarakat dalam pemilu secara langsung memenuhi hak-hak politiknya untuk memberikan suara yang dapat menentukan nasibnya dan membantu pemerintahan dalam menjalakan tugasnya. Meskipun pemilu merupakan pengertian demokrasi secara prosedural tetapi masyarakat seyogianya dapat menginternalisasi suara mereka yang akan menjadi penentu perkembangan dan kesejahteraan masyarakat bahkan yang harus disadari oleh masyarakat pilihannya terhadap pemimpin nasional dan daerah serta perwakilannya di legislatif yang sangat menentukan masa depan mereka.   Hijrah; transformasi Prosedural dan Substansial Pengertian Hijrah secara harfiah yaitu perpindahan atau berpindah. Umat Islam khususnya mengenal hijrah melalui fenomena hijrahnya Rasulullah SAW bersama umat Islam dari Makkah ke Madinah demi mempertahankan dan menyusun perjuangan penegakan Islam. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat penting dan bersejarah. Dianggap penting karena hal ini sebagai awal atau babak baru penyebaran Islam secara tersetruktur. Secara kontekstual makna hijrah sarat dengan spirit demokrasi dan menuntut adanya transformasi nilai-nilai yang mampu mengangkat kualitas kehidupan, untuk masa kini dan mendatang, salah satu prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh seluruh komponen bangsa ini adalah adanya keberanian meninggalkan paradigma status quo menuju paradigma civil society. Hijrah bisa disebut sebagai sebuah perpindahan paradigma yang sangat diperlukan untuk mengantisipasi sekaligus menjawab realitas yang selalu berubah. Dengan paradigma baru tersebut, langkah-langkah dan perspektif baru dapat ditemukan dan dielaborasi, sehingga dapat memperlancar proses pencapaian tujuan yang telah digariskan. Pertanyaannya, sejauh mana relevansi dan signifikansi wacana hijrah yang sarat dengan spirit demokrasi dalam perspektif sosio-politik di Tanah Air? Perspektif demokrasi Salah satu problem yang kita hadapi selama ini adalah bagaimana menciptakan sebuah bentuk demokrasi yang mampu menjawab permasalahan khas masyarakat majemuk seperti yang ada di negara indonesia. Dalam tataran demokrasi, sebuah perubahan sistemik yang diperlukan adalah dari orientasi demokrasi yang hanya ke prosedural ke demokrasi yang substansial. Dengan perubahan seperti ini akan menuju sebuah pemerintahan-negara yang sadar akan jati dirinya dapat diciptakan, karena demokrasi substansial mengandung penolakan terhadap dominasi negara atas rakyatnya. Dengan visi demikian akan dapat diciptakan pula sebuah sistem dan format demokrasi yang benar-benar apresiatif dan sensitif terhadap prinsip-prinsip demokrasi substansial, seperti pemisahan kekuasaan, rule of law, penghormatan dan perlindungan HAM, serta pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat. Perubahan visi di atas juga meniscayakan terjadinya pola hubungan baru antara negara dan masyarakat, antara legislatif dan eksekutif, dari dominasi dan hegemoni menuju keseimbangan dan kemitraan. Untuk itu, proses pemberdayaan masyarakat yang selama ini berada pada posisi subordinat harus menjadi prioritas utama. Nah, terkait dengan makna kontekstual hijrah yang sarat dengan spirit demokrasi dan menuntut adanya transformasi nilai-nilai yang mampu mengangkat kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk masa kini dan mendatang, salah satu prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh seluruh komponen bangsa ini adalah adanya keberanian meninggalkan paradigma demokrasi status quo menuju paradigma demokrasi paripurna prosedural dan substansial. Wujudnya berupa keberanian untuk mereformasi dan meninggalkan paradigma demokrasi status quo yang sarat dengan sekat-sekat eksklusif, diskriminatif, ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, politik, dan ideologi. Untuk kemudian berhijrah dan membangun terbentuknya demokrasi paripurna prosedural dan substansial yang dipenuhi dengan hubungan emosionalitas dan kharismatik antara rakyat dan penguasa dan tentunya terus berkonsentrasi mewujudkan Demokrasi paripurna prosedural dan substansial paling tidak di mulai dalam proses pemilu dengan menuntun rakyat agar mendayagunakan hak pilihnya dengan pertimbangan berbasis kualitas. Hal ini tidak secara berat hanya dibebankan di pundak Penyelenggara pemilu tapi juga kepada semua element termasuk Pers dan Partai Politik sebagai pilar utama bangsa, serta seluruh rakyat Indonesia. (Banten Pos, 12 Agustus 2021)


Selengkapnya
2707

ANTARA PEMILU, PILKADA, DAN PILKADES

Oleh ZAENAL MUTIIN Anggota KPU Kabupaten Serang (Divisi Data dan Informasi) Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara sederhana, masyarakat memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di negara Indonesia diwujudkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan oleh rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan  Umum  di  Indonesia  bertujuan memilih seseorang untuk jabatan politik tertentu. Pemilu dilakukan untuk jabatan eksekutif, legislatif pada setiap tingkat pemerintahan hingga pemilihan  kepala desa. Pemilihan Umum di Indonesia dapat dikategorikan pada 3 (tiga) level pemilihan. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan memilih anggota Legislatif. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan ditingkat daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Ketiga, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dilaksanakan di tingkat desa untuk memilih Kepala Desa. Dari ketiga level pemilihan itu, dasar regulasi juga ada pada masing-masingnya. Pemilu, menggunakan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pilkada, menggunakan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sedangkan Pilkades, menggunakan Dasar Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2014, penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades) dianggap lebih demokratis dibandingkan sebelumnya. Pemilihan kepala desa merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan oleh setiap desa secara serentak dalam wilayah kabupaten untuk memilih calon kepala desa. Nantinya, calon kepala desa ini akan mengemban tugas yang diberikan padanya. UU No. 6 Tahun 2014 telah memberikan ruang dan gambaran tentang bagaimana proses demokratisasi di tingkat desa, dengan cara mengadakan pemilihan kepala desa.   Persamaan dan Perbedaan; Desa merupakan institusi pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Desa dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan: “Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat desa”. Kendatipun Pemilihan Kepala Desa langsung oleh rakyat, layaknya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/Wallikota dan Wakil Walikota, Pilkades tak masuk dalam “rezim pemilu” Indonesia. Padahal dalam banyak hal, dari segi sistem, sifat, dan tahapan dan program penyelenggaraan Pilkades, sama persis dengan Pilpres dan Pilkada. Pertama, sistem pemilu langsung di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 diilhami dari Pilkades yang dipilih langsung oleh rakyat. Indonesia tak mengadopsi sistem pemilu luar negeri. Akan tetapi, hal itu merupakan improvisasi dari tradisi, nilai serta norma demokrasi yang berurat-akar di tengah-tengah masyarakat desa. Kedua, Pilkades memiliki sifat yang sama dengan Pilpres dan Pilkada. Sama-sama bersifat langsung, umum bebas, rahasisa, jujur dan adil, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU Desa tersebut. Ketiga, tahapan penyelenggaraan Pilkades juga meliputi: tahapan pencalonan, pemungutan suara dan penetapan, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU Desa tersebut pula. Tampaknya, walau memiliki tiga kesamaan antara Pemilu, Pilkada, dan Pilkades, pemerintah dan DPR RI tidak memasukan Pilkades sebagai “rezim pemilu”. Pilkades merupakan sistem pemilihan sendiri di luar sistem pemilu yang ada. Tidak masuknya Pilkades sebagai “rezim pemilu” karena memiliki perbedaan-perbedaan yang juga sangat subtantif, Penyelenggara Pilkades adalah panitia yang dibentuk oleh Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa), bukan KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, mandiri dan tetap. Pengaturan mengenai pengawasan pelaksanaan tahapan Pilkades tidak diatur secara rinci. Baik di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 maupun Permendagri Nomor 72 Tahun 2020. Berbeda halnya dengan Pemilu dan Pilkada yang setiap tahapannya diawasi ketat oleh Bawaslu. Dalam Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 khususnya Pasal 44E hanya mengatur mengenai sanksi pelanggaran protokol kesehatan oleh panitia pemilihan di desa. Padahal dalam kenyataannya masih adanya pelanggaran tahapan yang dilakukan oleh para peserta calon kepala desa dan para pendukungnya. Dan juga, bila terjadi perselisihan hasil Pilkades, maka Bupatilah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikannya, bukan Pengadilan Negeri yang keputusannya bersifat mengikat dan final. Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu. Namun  tidak  demikian  halnya  dengan Pilkades. Berdasarkan Permendagri Nomor 72  Tahun  2020  Pasal  5  ayat  (1) menyebutkan  bahwa  “Bupati/Walikota membentuk   panitia   pemilihan   di kabupaten/kota yang ditetapkan dengan  Keputusan Bupati/Walikota”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa panitia pemilihan tersebut berasal dari unsur forum koordinasi pimpinan daerah kabupaten/kota, yaitu Bupati/Walikota, pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, pimpinan satuan teritorial TNI di kabupaten/kota, Satgas penanganan Covid-19 kabupaten/kota, serta unsur terkait lainnya. Presiden, Kepala Daerah dan Legislatif yang terpilih di dalam Pemilu dan Pilkada akan menjabat selama 5 tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali sebanyak satu kali. Sedangkan Kepala Desa yang terpilih dalam Pilkades akan menjabat selama 6 tahun dan bisa dipilih kembali untuk dua kali pemilihan berikutnya. Pandemi, Pilkada dan Pilkades Pilkades diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di samping itu, pengaturan mengenai Pilkades ini juga tercantum pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Untuk pelaksanaan Pilkades di masa pandemi ini Menteri Dalam Negeri kembali mengubah peraturan tersebut ke dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa (yang selanjutnya akan disebut sebagai Permendagri Nomor 72 Tahun 2020). Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 dibuat sebagai bentuk pencegahan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menyerang seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengaturan ini tidak berbeda dengan pengaturan pada Pilkada yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020 yang lalu (Pelaksanaan ini pun mundur dari jadwal semula yakni 23 September 2020 akibat pandemi Covid-19) Sejumlah protokol Kesehatan, seperti jaga jarak aman, memakai masker, serta mencuci tangan menjadi prasyarat dalam pelaksanaan Pilkades tahun ini. Pilkada dan Pilkades sama-sama pemilu lokal yang pada periode ini dilaksanakan dimasa pandemi. Tetapi ada beberapa perbedaan yang mengajak kita untuk lebih bijak menyikapi dan mendorong pemerintah untuk antisipatif dalam merumuskan peraturan. Beberapa hal yang berbeda dari pelaksanaan pilkades dan pilkada, pertama, walaupun sama-sama politik lokal tetapi pelaksanaan Pilkades, aksesbilitas dan jangkaunnya lebih mudah karena lokasi dan isu lebih terjangkau, hal itu mendorong pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi, kegiatan-kegiatan politik lebih intens dan potensi konflik yang mengakibatkan kerumunan juga lebih tinggi. Kedua, perangkat pengawasan dan penindakan yang lemah. Dalam pilkades tidak ada seperti bawaslu dan keterlibatan kepolisian, sedangkan potensi konfliknya lebih tinggi. Pengawasan dilakukan oleh semua masyarakat dan masing-masing tim untuk mencegah pelanggaran pilkades, tetapi pada aspek pelanggaran protokol tentu lebih meragukan dilaksanakan. Ketiga kesadaran masyarakat tentang penerapan protokol kesehatan masih lemah, terbukti penerapan social distancing dan physical distancing tidak cukup efektif dalam kegiatan sosial. Kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan rata-rata 50-100 masih sering berlangsung di masyarakat tanpa memperhatikan protokol Covid-19. Oleh karena itu, jika pilkades betul-betul ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan, masyarakat hendaknya melihatnya pada aspek kesiapan pemerintah dan sosial politik dalam pelaksanaan yang dikhawatirkan dan akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Maka masyarakat tidak perlu risau secara politik dengan menganggap seolah-oleh perlakuan berbeda ini karena surplus kepentingan elit yang berbeda. Seolah, elit politik tidak banyak meraup keuntungan dari pada pilkades atau pilkada. Sebaliknya jika pilkades tetap dilangsungkan dalam kondisi pandemi yang belum normal maka perangkat protokol harus betul-betul diperhatikan. Peraturan tentang pilkades harus tersirat menganut tentang protokol kesehatan dan mengatur pengawasan serta penindakan bagi penyelenggara dan pasangan calon yang mengabaikan peringatan pemerintah. Banyak hal yang mesti diperhatikan misalnya, pembagian atau pemecahan TPS-TPS, pelarangan pertemuan terbatas yang melibatkan banyak orang, pelarangan perkumpulan di rumah calon atau tim pasangan calon dalam jumlah banyak orang. Selian itu perlu dipertegas lembaga pengawas atau penindakan yang dikhususkan untuk menjaga ketaatan pada protokol Covid-19 agar penerapannya betul-betul maksimal dan efektif, Berbagai langkah-langkah preventif tersebut hendaknya menjadi renungan kita bersama untuk menjadi pelajaran dalam pelaksanaan Pilkades di masa pandemi ini, khususnya jika pandemi belum juga berakhir. Sehingga kepala desa yang terpilih merupakan kepala desa yang berintegritas dan berkualitas karena lahir dari proses pemilihan yang berintegritas dan berkualitas, serta penyebaran Covid-19 juga dapat diminimalisir. (Kabar Banten, 10 Agustus 2021)


Selengkapnya
82

TEKNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL (BAGIAN-1)

TEKHNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang     Pemilihan umum (pemilu) adalah detak jantung demokrasi. Banyak orang berpendapat bahwa tahun 2024 adalah tahun politik yang menentukan irama dari detak jantung demokrasi Imdonesia. Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024 menjadi tahun semaraknya gendrang politik di Indonesia. Meski demikian, Pemilu dan Pemilihan serentak bukan hanya mengenai pertarungan politik, melainkan juga memanaskan wacana mengenai modernisasi tekhnologi  pemilu. Salah satu gagasan untuk memodernisasi sistem pemilu Indonesia adalah dengan menyelenggarakan pemilu berbasis tekhnologi. Teknologi biasanya bergerak lebih cepat dari sistem hukum. Namun, revolusi teknologi harus selalu diupayakan sebagai sarana untuk meningkatkan kehidupan manusia khususnya dalam hal pemenuhan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, penerapan perkembangan teknologi (khususnya prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi langsung atau tidak langsung) harus dilakukan dengan hati-hati dalam kaitannya terhadap perbaikan masyarakat. Teknologi, sebagaimana manfaatnya dalam sektor industri, pertanian, juga pendidikan, diharapkan mampu meningkatkan derajat kebudayaan manusia. Dalam hal ini, praktik demokrasi suatu bangsa. Dalam dunia kepemiluan, teknologi digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah, seperti memudahkan registrasi pemilih, membantu pemilih mengenali program kandidat, mengurangi biaya untuk mencetak surat suara, meningkatkan tingkat partisipasi pada hari pemungutan suara bagi pemilih yang berada di luar negeri atau daerah-daerah yang sulit terjangkau, dan memangkas waktu rekapitulasi suara yang panjang. Cara kerja teknologi yang lebih kredibel, akurat, dan mampu mengeluarkan hasil yang cepat dan tepat memang menggoda banyak penyelenggara pemilu. Pada kasus Indonesia, KPU membangun sistem teknologi informasi dengan tujuan utama mempermudah kerja-kerja penyelenggara pemilu dan meningkatkan kepercayaan pemilih dan peserta pemilu terhadap proses pemilu. Terdapat tiga kategori teknologi informasi yang digunakan oleh KPU, yakni: teknologi yang digunakan dalam tahapan persiapan pemilu seperti sistem penganggaran dan jaringan dokumen dan informasi hukum pemilu; (2) teknologi yang digunakan dalam tahapan pelaksanaan pemilu, mulai dari sistem informasi daftar pemilih sampai sistem rekapitulasi suara; dan (3) teknologi yang digunakan pasca pemilu, seperti sistem informasi rencana program strategis penyelenggara pemilu.   Indonesia dan Tekhnologi Kepemiluan Secara umum, tahapan pemilu terdiri dari registrasi pemilih, registrasi dan penetapan peserta pemilu, pengadaan logistik kampanye dan pemilihan, masa kampanye, dan pungut-hitung-rekap suara. Berbagai negara memiliki tantangan transparansi dan akuntabilitas pada tiap tahapan, dan penggunaan teknologi pemilu sering kali dipertimbangkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasinya. Dalam konteks Indonesia, teknologi merupakan instrumen yang akrab ditemui di setiap tahapan pemilu. Sejak pertama kali pemilu demokratis diselenggarakan setelah Reformasi 1998, teknologi telah dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan demokrasi elektoral. Saat itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota menggunakan komputer untuk membantu mentabulasi hasil penghitungan suara dari seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Hasil tabulasi di tingkat kabupaten/kota kemudian dikirimkan ke KPU RI melalui sarana komunikasi milik Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia (Fisibility Study IT KPU 2016: 49). Secara gradual, pemanfaatan teknologi ditingkatkan dari pemilu ke pemilu. Teknologi menjadi bagian dari manajemen kepemiluan di Indonesia, yang keberadaannya memudahkan pelaksanaan tiap tahapan pemilu, sekaligus menyediakan transparansi proses pemilu bagi publik. Hampir setiap tahapan pemilu di Indonesia melibatkan penggunaan teknologi pemilu. Jenis teknologi pemilu yang diinisiasi penyelenggara pemilu dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis yakni: teknologi pada masa tahapan sebelum pemilu (pre-electoral period) dan teknologi pemilu ketika tahapan pemilu berlangsung (electoral period). Sistem penganggaran, sistem logistik, sistem pendaftaran pemilih, dan sistem pendaftaran partai politik dapat diklasifikasikan dalam teknologi pemilu di tahapan sebelum pemilu. Sementara itu, sistem pendaftaran calon, sistem pelaporan dana kampanye, sistem pengawasan pemilu, dan sistem penghitungan suara termasuk dalam teknologi pemilu dalam kategori ketika tahapan pemilu berlangsung. Perlu digarisbawahi, teknologi pemilu pada tahapan sebelum pemilu dan teknologi pemilu di tahapan pemilu berlangsung hanya berperan sebatas keterbukaan informasi dan transparansi proses pemilu. Dalam hal ini, keseluruhan teknologi tersebut bukanlah faktor penentu dalam tahapan pemilu. Sebagai contoh, sistem penghitungan suara (situng) merupakan sarana publikasi hasil pemilu yang dibuat KPU sebagai bentuk transparansi, sekaligus untuk membangun legitimasi hasil pemilu. Namun, untuk penentuan hasil pemilu, Undang-Undang Pemilu masih mengatur rekapitulasi suara dilakukan secara manual dan berjenjang mulai dari TPS-kecamatan-kabupaten/kota-provinsi-nasional. Dengan begitu, “situng” lebih dimaknai sebagai inisiasi rekapitulasi elektronik yang digagas KPU sebagai aplikasi informal untuk menyimpan data hasil pemilu sekaligus mempublikasikannya. Pada tahap registrasi pemilih, beberapa negara memberlakukan mekanisme pendaftaran pemilih secara digital. Indonesia merupakan salah satu negara yang memanfaatkan teknologi tabulasi daftar pemilih yang kemudian dikenal dengan istilah Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Pada tahap pendaftaran peserta pemilu, serupa dengan negara lainnya, Indonesia mengimplementasikan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) sebagai portal pendaftaran bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Di tahap pengadaan logistik, KPU RI juga memperkenalkan Sistem Informasi Logistik (Silog). Pada tahap kampanye, pelaporan dana kampanye secara online diberlakukan di banyak negara bagian di Amerika Serikat, seperti Virginia, North Carolina, Nevada dan California yang memiliki sistem pelaporan dana kampanye Electronic Filing System dan Electronic Campaign Disclosure. Di Indonesia, sejak Pemilu 2014, menggunakan Sistem Informasi informasi dana kampanye (Sidakam) yaitu sistem dengan menggunakan mekanisme pelaporan dana kampanye secara online mulai diperkenalkan dan dilanjutkan pada Pemilu 2019. Sementara itu, dalam tahap pemungutan suara, lusinan negara sudah menerapkan EVM dengan berbagai varian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya politik masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia, EVM masih dalam tahap pengkajian, meskipun telah ada banyak pihak, terutama politisi yang mendorong perubahan mekanisme pemungutan suara dari manual menjadi dilakukan secara elektronik. Uji coba EVM telah beberapa kali dilakukan pada pemilu di level desa. (International IDEA; 2020) Oleh negara-negara di Asia Tenggara, teknologi pemilu Indonesia dinilai sebagai model modernisasi manajemen pemilu. Filipina misalnya, mengambil Sistem Informasi Penghitungan (Situng) sebagai pelajaran bagi sistem e-counting yang diterapkan. Sebelumnya, Commission on Elections (Comelec) tak secara real time menampilkan hasil penghitungan suara. Namun, mencontoh keberanian KPU RI untuk membuat transparan hasil penghitungan suara, praktik baik Indonesia lantas diterapkan di Filipina. Tak hanya Situng, sistem informasi lainnya yang dikembangkan oleh KPU, yakni Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan Sistem Informasi Logistik (Silog) juga dipelajari oleh Timor Leste dan Kamboja (Sadikin, 24 November 2017).   Kepercayaan Publik ; Kunci Sukses Penerapan Tekhnologi Teknologi digunakan dalam tahapan pemilu karena beberapa pertimbangan, seperti hasil pemilihan yang dapat diterima, hasil yang akurat, membuat waktu pengerjaan jadi cepat, serta memungkinkan adanya efisiensi biaya logistik. Selain itu, penggunaan teknologi memudahkan penyelenggara pemilu menjangkau pemilih berkebutuhan khusus maupun pemilih di tempat yang sulit dijangkau, seperti di area pedalaman dan luar negeri. Namun, penerapan teknologi seringkali berhadapan dengan masalah baru yang lebih kompleks ketika teknologi ternyata tak mampu memenuhi semua prinsip-prinsip pemilu. *** Terbit, Kabar Banten 13 Oktober 2021 


Selengkapnya
80

TEKHNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL (Bagian-2 Habis)

TEKHNOLOGI PEMILU DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang Sebagai contoh, sistem Direct Recording Electronic (DRE) dengan kartu audit, meskipun memungkinkan untuk diaudit dan serta memungkinkan adanya penghitungan suara ulang, tetapi kertas audit yang berisi nomer transaksi pemilih beserta pilihannya mengancam prinsip rahasia dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh sebab itu, sekalipun menggunakan teknologi, sistem pemilu tak akan tersulap dalam sekejap mata menjadi sempurna. Baik partai politik, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat sipil, menilai penggunaan teknologi dalam pemilu perlu ditingkatkan. Namun, pada realitanya, adopsi teknologi dihadapkan pada sejumlah persoalan dan tantangan dalam rangka menjawab pertanyaan sejauh mana penggunaan teknologi dalam pemilu mampu meningkatkan kualitas pemilu. Berangkat dari persoalan tersebut, nampak ada kebutuhan untuk membuat sebuah panduan penggunaan teknologi yang tepat guna dan tak kontraproduktif, untuk membantu kerja penyelenggara pemilu, tetapi tanpa mengesampingkan azas dan prinsip pemilu. Berkaca dari pengalaman adopsi teknologi di berbagai negara, kepercayaan dari seluruh elemen masyarakat adalah faktor yang paling penting. Tanpa kepercayaan publik, sekalipun sistem yang digunakan tak bermasalah serta tak ada pihak yang memanipulasi sistem, tetapi pada akhirnya hasil pemilihan dengan teknologi bisa menjadi tidak memiliki legitimasi. Kunci untuk meraih kepercayaan publik adalah transpransi, profesionalisme, dan tersedianya mekanisme yang akuntabel. Kepercayaan publik merupakan hal yang paling mendasar dari suksesnya penerapan tekhnologi, bangunan kepercayaan publik dengna cara membangun kapasitas aturan hukum, kapasitas penyelenggara pemilu, kapasitas teknologi yang akan digunakan, dan kapasitas masyarakat sebagai pengguna teknologi. Penyelenggara pemilu wajib membangun kapasitas kelembagaannya dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga IT yang dimiliki. Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu membiasakan penggunaan teknologi dari awal tahapan sebelum pemungutan dan penghitungan suara  dilakukan  hal ini dilakukan untuk untuk memperkuat modalitas kepercayaan publik sekaligus membangun budaya penggunaan teknologi. Upaya itu pada saat bersamaan akan memberikan pendidikan digitalisasi pemilu kepada pemilih agar mereka terinformasi dan memahami dengan baik cara kerja teknologi. Tidak kalah penting, penyelenggara pemilu perlu menyusun kerangka waktu yang cukup untuk mempersiapkan teknologi. Waktu adalah kerangka yang mengikat proses persiapan dan penerapan teknologi yang diadopsi. Penyelenggara pemilu harus memastikan tersedia waktu yang cukup lapang untuk mengkaji teknologi, menyiapkan regulasi, menerapkan uji coba berkali-kali, serta untuk menyebarkan informasi dan melakukan sosialisasi. Patut dicatat, bahwa proses penerapan teknologi tak memakan waktu sebentar. Masyarakat harus diyakinkan bahwa proses panjang tersebut, berikut biaya yang dikeluarkan, sepadan dengan hasil yang ingin dicapai, yakni pemilu yang bersih, jujur dan adil. Penyelenggara pemilu diingatkan untuk bersikap transparan, akuntabel, serta membuka ruang partisipasi publik dalam setiap prosesnya. Pemilu adalah milik masyarakat dengan penyelenggara pemilu sebagai pelaksana. Dengan begitu, informasi mengenai tahapan-tahapan dan proses penyelenggaraan pemilu wajib dipublikasi di media yang mudah diakses oleh semua orang. Persepsi publik yang mempercayai proses dan hasil pemilu yang diumumkan penyelenggara pemilu. Tujuan ini hanya dapat tercapai apabila proses-proses di tingkatan bawahnya sudah terlebih dahulu diterapkan dengan baik. Tak ada gunanya menerapkan teknologi pemilu jika hal itu tak mendapatkan kepercayaan dari seluruh pihak. Oleh karena itu, agar pengadaan teknologi tidak sia-sia, penyelenggara pemilu sejak awal proses sudah harus melibatkan semua pihak.   Inovasi Tekhnologi Untuk Sukses Pemilu 2024 Pengunaan teknologi pemilu di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Pemilu 1999, Indonesia sudah menerapkan teknologi untuk mentabulasi hasil pemilu secara nasional. Pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu kemudian diintensifkan sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019. Sekalipun sampai pada pemilu terakhir, Indonesia tidak menerapkan e-voting, tetapi teknologi menjadi perangkat yang digunakan di hampir setiap tahapan pemilu. Secara umum, tujuan utama penggunaan teknologi di Indonesia yakni, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas setiap tahapan pemilu guna memperkuat kepercayaan dan legitimasi hasil pemilu. Ketua KPU Indonesia mempercayai pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu akan meningkatkan kualitas dan integritas pemilu (Lee dkk, 2017: 107). Pengamat Pemilu, Ramlan Surbakti menilai bahwa penerapan e-voting pada Pemilu ataupun pemilihan belum relevan dengan permasalahan Pemilu di Indonesia. Ramlan mengatakan bahwa model pencoblosan dan penghitungan suara secara manual justru bisa lebih meminimalisir kecurangan dan kesalahan ketimbang sistem e-voting. Berdasarkan banyak kajian, permasalahan proses Pemilu di Indonesia sebenarnya bukan terletak pada proses pemungutan suaranya, namun dalam tahap penghitungan dan rekapitulasi suara. Sebab, tahapan inilah yang sering memunculkan manipulasi suara dan kecurangan secara berjenjang. Sedangkan, proses pemunguatan suara secara konvensional dengan cara mencoblos disertai dengan penghitungan secara terbuka di TPS, dinilai oleh para pengamat pemilu internasional sebagai proses yang paling transparan, karena penghitungan dapat disaksikan langsung oleh para saksi dan pemilihnya. Sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2019, pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi suara dilakukan secara manual dan berjenjang dari TPS hingga ke tingkat nasional. Pemilih datang ke TPS dengan memberi tanda langsung di surat suara (mencoblos surat suara dengan paku). Mekanisme pemungutan suara manual ini dinilai sebagai salah satu tahapan paling demokratis dalam pemilu di Indonesia karena adanya pengawasan partisipatif yang dilakukan pemilih. Ada tradisi menarik yang hampir selalu terjadi di setiap pemilu di Indonesia. Pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara saja, tetapi setelah waktu pemungutan suara selesai pukul 13.00, pemilih beramai-ramai datang ke TPS untuk menyaksikan penghitungan suara manual. Proses penghitungan itu dilakukan petugas TPS dengan cara membuka satu per satu suara suara yang lalu ditunjukan ke saksi dari peserta pemilu, sekaligus pemilih yang hadir. Situasi ini berlangsung meriah dan secara tidak langsung mampu menimalisisasi adanya upaya kecurangan di TPS. Oleh karenanya, perkembangan sistem e-voting saat ini lebih diarahkan untuk mengganti proses penghitungan dan rekapitulasi suara secara manual menjadi elektronik. Inilah salah satu alasan bagi KPU mulai membangun Sirekap  agar publik dapat ikut memantau akurasi proses rekapitulasi secara berjenjang (e-counting), walaupun belum sepenuhnya dapat dilakukan secara real time. Sirekap bisa memperpendek masa rekapitulasi penghitungan suara, sehingga rasa ingin tahu masyarakat dan kontestan terhadap hasil pemilu bisa dipenuhi dengan cepat, yang pada gilirannya akan mengurangi kerawanan dan ketidakpastian. (1) Sirekap mampu merekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat TPS (Formulir C1) secara cepat dan akurat, sehingga terhindar dari kesalahan teknis penghitungan suara akibat kealpaan, kesalahan, dan kelelahan petugas TPS, (2) Mesin Sirekap bekerja tanpa memperhitungkan emosi dan kepentingan para pihak, sehingga hasilnya bisa dipercaya Sirekap secara teknologi merupakan tahap yang paling mudah dibanding dengan e-voting dan e-counting, sehingga praktik pengembangan teknologi pemilu berjalan sesuai hukum teknologi: dimulai dari yang paling mudah, beranjak ke yang lebih sulit, lalu mencapai tahapan yang paling rumit, (3)  Sirekap bisa didesain dan diproduksi di dalam negeri (Tim Kajian IT Pemilu KPU, 2016: 93). Pada akhirnya Pemanfaatan teknologi informasi untuk pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 menjadi sebuah keniscayaan. Teknologi informasi mampu mempermudah dan meringankan beban penyelenggara dalam melaksanakan pemilu yang kompleks. Namun, pemanfaatannya perlu mendapatkan payung hukum yang kuat agar tidak melanggar undang-undang Terbit, Kabar Banten 14 Oktober 2021


Selengkapnya
205

PILKADES MENANG TANPA POLITIK UANG

PILKADES MENANG TANPA POLITIK UANG Oleh : Zaenal Mutiin Anggota KPU Kabupaten Serang   Indonesia merupakan negara demokrasi. Secara sederhana, masyarakat memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk demokrasi di negara Indonesia diwujudkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan oleh rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum dilakukan untuk memilih pemimpin mulai dari presiden, kepala daerah, hingga kepala desa. Penyelenggaraan pemilihan kepala desa diserahkan kepada setiap pemerintahan desa karena desa memiliki hak otonomi dalam bidang politik dan pemerintahan. Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara. Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Pemilik hak pilih pada pemilihan kepala desa semestinya berbeda dengan pemilik hak pilih pada pemilu lain. Idealnya, masyarakat desa  memiliki  ikatan  yang  kuat  sehingga mengenal calon kepala desa yang terlibat dalam kontestasi politik. Dengan mengenal calon kepala desa, mereka mampu menentukan pilihan tanpa menerima politik uang. Praktik politik uang di Indonesia tumbuh sangat subur bagaikan jamur di musim hujan. Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut maka akan korupsi dengan absolut pula (Lord Acton 1833-1902). Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap praktik politik uang merupakan suatu kewajaran dalam penyelenggaraan pemilihan umum, sehingga masyarakat tidak lagi peka terhadap bahaya-bahaya yang akan timbul dikarenakaan praktik-paktik politik uang. Masyarakat membiarkan tindakan ini, karena tidak merasa bahwa politik uang secara normatif harus dijauhi. Sehingga semua itu berjalan sekaan-akan merupakan suatu hal yang wajar. Kendati jelas terjadi politik uang, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes. Politik Uang; Korupsi Politik dan Politik Korupsi Politik Uang (Money politic) dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang yaitu pertukaran sejumlah uang dengan posisi/kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai. Politik Uang dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum untuk Presiden. Pengertian lain Politik Uang Menurut Hamdan Zoelva (Gustia, 2015 : 28),  Politik Uang adalah upaya mempengaruhi perilaku pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi (uang atau barang). Demikian juga mempengaruhi penyelenggara dengan imbalan tertentu untuk mencuri atau menggelembungkan suara, termasuk membeli suara dari peserta atau calon tertentu. Politik uang merupakan salah satu fenomena dalam sistem politik yang dapat mendeligitimasi mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi politik yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. Partisipasi politik masyarakat dengan demikian tidak didasarkan pada political literacy yang mereka miliki, akan tetapi dikungkung oleh keharusan memberikan preferensi atas kontestan yang memberikan uang dengan jumlah terbesar. Dengan praktek uang seperti itu, politik akan bergeser dari mekanisme mewujudkan kepentingan bersama (common good) ke proyek bisnis. Hal tersebut juga menjadikan adanya lingkaran tiada putus antara politik korupsi dan korupsi politik. Perilaku politik uang, dalam konteks politik sekarang, sering kali diatasnamakan sebagai bantuan, dan lain-lain. Pergeseran istilah politik uang ke dalam istilahan moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat yang memang membiasakan tindakan itu terjadi. Tatkala masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal hukum formal akan kesulitan untuk menjangkaunya. Karena itu dibutuhkan kerangka kerja tafsir untuk memahami setiap makna yang tersimpan di balik perilaku politik (political behaviour) sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik antara pemberian yang sarat dengan nuansa suap, dan pemberian dalam arti sesungguhnya sebagai bantuan. Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar. Sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi. Thus, fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah (demos) dan para elit politik di desa, yaitu nilai non demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi hakiki (substantive democrarcy). Sebenarnya praktik-praktik politik uang yang membudaya di dalam setiap kontestasi yang di selenggarakan terkhususnya dalam pilkades sangatlah banyak menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan negara. Mekanisme elektoral demikian tentu sangat mahal (high cost mechanism). Dan hal itu akan menyeret kekuasaan yang diraih ke dalam perilaku politik “balik modal”. Ambisi kekuasaan yang begitu besar dengan cara-cara yang tidak terhormat demikian akan menghasilkan perilaku politik rendahan di tataran pemegang kekuasaan politik. Jika demikian yang terjadi maka demokrasi memberikan ruang terciptanya kapitalisme baru melalui praktek kompetisi yang tidak sehat. Pidana dan Politik Uang Pilkades Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang. Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk. Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan pelaksana dari UU Desa juga tidak mengatur, baik PP No. 43 tahun 2014, PP No. 47 tahun 2015, maupun perubahan yang kedua pada PP No. 11 tahun 2019. Peraturan Daerah yang diberikan mandat atributif oleh undang-undang untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak, di seluruh kabupaten/kota juga tidak mengatur terkait politik uang, baik dalam dimensi hukum administratif maupun hukum pidana. Dalam prakteknya penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang baik  dalam pemilu dalam semua tingkatannya sering tidak mudah. Problem tersebut lebih merupakan problem struktur penegakan hukum yang sering tidak responsif dan kehilangan momentum dalam melakukan penegakan hukum. Faktor yang juga signifikan adalah masih banyak bagian masyarakat kita yang abai dengan tindak pidana politik uang. Sedikit diantara anggota masyarakat yang mau memberikan kesaksian dalam hal terjadi tindak pidana politik uang. Dalam konteks pemilihan kepala desa politik uang cenderung dibiarkan dan dalam penegakan hukum juga sering luput dari perhatian penegak hukum. Hukum pidana berfungsi melindungi kepentingan individu, masyarakat dan negara. Dengan ditegakkannya  pasal 149 KUHP terhadap tindak pidana politik uang dalam pemilihan kepala desa diharapkan dapat mewujudkan pemilihan kepala desa yang berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu akan memberi jaminan kepada warga desa untuk mendapatkan pemimpin lokal yang berintegritas dan tidak sibuk memulihkan modal politik ketika menjabat sehingga akan benar-benar menerapkan filosofi sebagai pamong masyarakat. Pasal 149 ayat (1) dan (2) bisa menjadi pemecah dari kebuntuan penegakan hukum dalam politik uang pada pemilihan kepala desa. Pasal 149 ayat (1): Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap. Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa.   Peninjauan kembali UU Desa agar perundangan tersebut menjadi acuan yang tegas dalam menjalankan pemerintahan desa. Hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah sehebat apa pun dan seberat apa pun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik uang, sangat tidak berarti jika tidak dilandasi kesadaran masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri. Perlu waktu yang lama untuk menghilangkan budaya politik uang di pilkades, tetapi bukan berarti tidak bisa, dan ini menjadi pekerjaan kita semua. Justru pada tataran pemerintahan desa, seharusnya pemerintah peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini. Suara dijual, Kedaulatan digadai Pilkades adalah proses melibatkan warga negara ke dalam proses pemerintahan. Masyarakat dilibatkan secara aktif untuk menentukan siapa yang berhak mengendalikan pemerintahan di desa alam periode waktu tertentu. Proses ini mengandaikan adanya kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang berdaulat berhak menentukan siapa yang memegang kekuasaan dan mengatur kehidupan warga negara. Politik uang atau jual beli suara pada dasarnya adalah membeli kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat yang menerima uang sebenarnya menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu tertentu. Jika masyarkat telah menggadaikan kedaulatan kepada penguasa maka pada dasarnya masyarakat tidak bisa mengklaim kedaulatan itu kembali. Setidaknya masyarakat tidak punya hak untuk menuntut penguasa memberikan perhatian kepada kepentingan dan kebutuhannya, karena masyarakat sudah menerima imbalan atas legitimasi yang sudah diberikan kepada mereka (penguasa). Konsekuensinya, masyarakat tidak lagi berhak marah apabila mereka (penguasa) korupsi, atau menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Praktik politik uang yang menciptakan korupsi politik ini telah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam setiap perhelatan pemilu/pilkada/pilkades. Tentu, perlu adanya upaya untuk mencegah peraktik politik uang dan menyadarkan masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan praktik yang merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, praktik politik uang ini menjadi corong utama penyebab munculnya pemimpin yang korup dan tidak pro terhadap rakyat. Maka menyadarkan masyarakat untuk melakukan perlawanan politik uang ini sangat penting untuk memposisikan masyarakat sebagai good citizen. Serta memposisikan masyarakat sebagai kontrol roda pemerintahan. Sehingga pemerintahan desa yang demokratis benar-benar akan terwujud dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai...Salam Demokrasi...Salam Sehat...


Selengkapnya